Matahari senja
menampakkan senyumnya padaku, dibawah pepohonan yang sangat rindam, angin
melewati tubuh ini membuat khayalku terbawa oleh angin terbang melayang entah
kemana akan berpijak. Dimana imajinasiku tentangnya akan kembali berhenti?
Laki-laki itu, sesosok laki-laki yang melayang di pikiranku.
Kini tepat sebulan
bayangnya menghantui perasaanku. Sejak pertemuan itu, ia menunjukkan
kepeduliannya padaku. Suatu sikap yang tidak mudah aku dapatkan dari sosok
laki-laki lain. Mungkin ini hanya rasaku saja atau memang benar ia peduli
padaku? Cukup menjadi sebuah tanda tanya besar bagiku.
Sebulan yang
lalu, ia mengajakku ke sebuah café yang bergabung dengan toko buku disertai
view terbuka dari atas serta dapat melihat kearea bawah, jalan dan lampu-lampu
yang bersinar menerangi kota. Suasana malam, langit menjadi saksi pertemuan dan
perbincangan kita. Ia memesan kopi hitam favoritnya, sedangkan aku meminta
waiters untuk membawakan singkong yang digoreng dengan ditaburi parutan keju
dan juga selembar keju utuh.
“ada kan mas?”
“iya ada teh, selembar aja?”
“iya mas, makasih ya”
Setelah waiters itu memohon kita untuk
menunggu, ia pun berjalan ke meja-meja lain untuk melayani pemesan yang lain.
Ditemani segelas
mocacino sudah cukup mengenyangkan isi perutku. Obrolan malam itu, keluargaku
menjadi topik utamanya. Mataku yang sembap, membuat ia bertanya padaku apa yang
terjadi denganku? Cukup jelas, aku merasakan sesosok laki-laki yang belum lama
aku kenal begitu menujukkan perhatian yang begitu hangat. Sosoknya yang
sederhana, cara bicara yang penuh wibawa dan berwawasan memunculkan daya tarik
sendiri untuknya. Tanpa ku duga, aku jatuh cinta dengannya, Senior yang
jelas-jelas jarang bertatap dan bertemu langsung di kampus denganku. Apa benar
ini cinta? Atau hanya sekedar ingin memiliki sesaat? Bukan! Aku mencintainya,
aku benar-benar takut kehilangan seseorang yang bukan milikku. Aku belum pernah
merasakan perasaan ini sebelumnya.
Pertemuan kedua,
malam itu hujan turun. Kota dimana hujan lebih sering turun kapan saja ia ingin
turun. Rumahku, ia datang ke rumahku menggunakan sepeda motor besarnya. Jaket
yang melekat pada tubuhnya menjadi ciri khas di setiap pandanganku, helm hitam
masih menutupi kepalanya. Detak jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya,
melihat sosoknya yang tinggi 170 cm dengan berat badan sekitar 50 sudah berada
tepat di depan rumahku. Aku membukakan gerbang rumahku, dan menyuruhnya untuk
segera memarkirkan kendaraan di samping mobil Papa.
Kami duduk
dengan jarak yang cukup dekat, ada meragu dan malu setiap aku ingin menatapnya.
Ia mencairkan obrolan kita dengan membicarakan hal kecil hingga hal besar
seputar dunia kampus. Aku harap ia lupa dengan tujuan pertama datang kerumahku.
Semalam aku sempat mengatakan sejujurnya padanya tentang perasaan yang berbeda,
perasaan yang luar biasa setelah aku mengenalnya. Tiba-tiba hening, tidak ada
suara yang terlepas dari mulutku ataupun mulutnya, hanya ada rintikan hujan
yang turun membasahi halaman depan rumahku.
Ia
kembali memulai percakapan, “semalam kenapa?”
“kesambet
kak” hehe
“bercanda
aja nih, abis lewat kuburan mana emang?”
Sambil menahan senyum aku mencoba
menjawab pertanyaan singkatnya, “bukannya semalam udah aku jelasin kak kalo aku
cuma mau jujur ke kamu gimana perasaan aku, ga ada yang salah kan tentang
kejujuran?”
“iya tapi kakak masih penasaran kenapa
bisa ngomong begitu”
“aku cuma ingin melegakan perasaan aku
dan ga akan berharap lebih juga kok kak ke kamu, kamu mikirnya apa setelah buka
bbm aku?”
“kaget aja, kakak kira cuma nyapa biasa
eh taunya panjang”, “semua butuh proses dek, maaf kakak ga bermaksud mainin
perasaan kamu.” Ia menyambung kalimatnya yang hampir putus.
Perkataan itu,
cukup membuat harapan yang penuh, hati yang utuh mulai retak menjadi
kepingan-kepingan yang mungkin dapat dijadikan mozaik kalau saja hati ini
sebuah mainan. Inikah harapan yang aku pikir besar? Seseorang yang membuat diri
aku jatuh hati tidak memiliki rasa yang sama padaku? ini masalah waktu, aku
terlalu cepat merasakan dan menyatakan, sedangkan ia masih butuh waktu, ‘belum’
yang berarti ‘akan’ dan bukan benar-benar tidak akan ataupun tidak mungkin.
Setelah percakapan itu, aku merasa setengah harapanku hilang. Aku tidak lagi memiliki obrolan yang biasa kita bahas walau hanya via blackberry messanger. Aku merindukan hal itu.
Setelah percakapan itu, aku merasa setengah harapanku hilang. Aku tidak lagi memiliki obrolan yang biasa kita bahas walau hanya via blackberry messanger. Aku merindukan hal itu.
Hujan
selalu menjadi saksi disaat aku meneteskan harapan serta air mataku, hobiku duduk
bersandar pada kursi meja belajar yang tepat berada di depan jendela kamarku,
mencoret-coret lembaran kertas kosong, memandangi alam ketika malam dan hanyut
begitu dalam pada perasaan. Salahkah dengan rasa yang sedang aku rasakan?
Sepertinya sudah saatnya aku kubur dalam-dalam perasaanku, harus menunggu
berapa lama lagi untuk mengetahui apa yang ia inginkan? Memilikiku atau
membiarkan aku pergi dengan kekecewaan yang begitu besar karenanya?
Bogor,
kota yang sejuk. Aku senang dapat merasakan ketenangan pada sistim otak dan
hati ketika mendengar rintik hujan. Aku suka aroma alam ketika selesai hujan,
aroma tanah yang terbasahi oleh air hujan, dan melihat dedaunan yang basah
tertimpa butiran-butiran air yang turun dari langit melalui awan.
Aku
tau hari ini hari ulang tahunnya, aku sudah mempersiapkan sebuah kado. Baju
berkerah yang aku lipat dan masukkan ke dalam kotak berwarna cokelat. Aku
membawanya ke kampus dan berniat untuk memberikan padanya siang ini, tapi
takdir berkata lain, aku telat. Aku mendapat kabar dari temannya bahwa ia
sudang pulang sedari mata kuliah berakhir, sekitar pukul 11.00, sekarang jam
ditangan kiriku sudah menunjukkan pukul 12 kurang 5 menit. Waktu dimana para
muslim wajib melaksanakan sholat jum’at.
Setelah
aku pikir-pikir, mungkin nanti malam lagi saja aku akan mencoba menyuruhnya
datang kerumahku untuk mengambil kado dariku. Sore ini aku berencana
jalan-jalan menuju kebun raya bogor. Aku tidak jarang menghabiskan waktu di
taman ini, sekedar berjalan, hunting foto bahkan hanya jajan di area sepanjang
jalan Juanda. Berbagai macam makanan khas kota ini dengan mudah di dapat
disini. Apalagi bagi pendatang sepertiku, setiap hari rasanya tidak puas kalau
tidak jajan jajanan di kota hujan ini.
Sebelum
memasuki pintu masuk dan membeli tiket, aku mampir untuk membeli beberapa
cemilan yang dapat aku bawa ke dalam. 6 buah roti unyil sudah dibungkus dan aku
pun kembali berjalan menuju pintu masuk bersama beberapa orang yang juga sudah
siap berkeliling kebun ini. Aku mengikuti jalan yang selalu jelas terarah pada
papan petunjuk jalan. Aku sudah biasa jalan sendiri seperti ini. Hari ini
pengunjung tidak terlihat begitu ramai, karena memang hari ini bukan hari
libur. Aku menuju jembatan merah tempat
dimana pengunjung yang datang kesini pasti mencari-cari jembatan ini, mitosnya
“Bagi orang yang berpasangan lalu jalan menyebrangi jembatan ini, maka akan
segera putus. sebaliknya, seseorang yang masih sendiri disarankan jalan
menyebrangi jembatan ini agar segera mendapatkan kekasih.”
Mitos yang sangat lucu, aku merupakan
salah satu yang tidak mempercayai hal itu. Tapi sungguh, aku suka duduk di
bawah anak tangga dekat jembatan ini. Disini aku dapat menulis, menuangkan
semua daya khayalku, mengambil gambar suasana jembatan ketika ramai, saat
sepasang kekasih terlihat begitu bersahabat bahkan ketika sepi pun aku
mendapatkan suasana yang terambil oleh kamera fotoku.
Telepon genggamku berdering dengan
getaran yang khas, “Dimana dek?” seorang teman dekat kakak seniorku mengirim
pesan singkat.
“Di
taman kak”
“Udah
jadi dikasih kadonya?”
“ehehe
belum kak, belum ketemu orangnya”
“Kakak
mau ngerjain dia dek sama yang lain, mau ikutan? Masih nanti sore sih, lo
dimana?”
“Jembatan
merah kak, mau ketemuan dimana nanti?”
“Nanti
gue kabarin lagi deh”
“Oh,
oke di tunggu ya kak”
Aku kembali menyentuh dan memakan roti unyil yang aku beli tadi, seketika meminum air mineral yang memang selalu aku bawa dari rumah dengan botol minum berwarna biru kesukaanku.
Aku kembali menyentuh dan memakan roti unyil yang aku beli tadi, seketika meminum air mineral yang memang selalu aku bawa dari rumah dengan botol minum berwarna biru kesukaanku.
20 menit
kemudian, sesosok laki-laki terlihat berjalan dari arah berlawanan dimana
tempat ku menatapnya. Wajah yang tak asing lagi, wajah yang masih berlari-lari
kecil di pikiranku? Ah ini hanya khayalku saja pasti, ucapku dalam hati.
Sosoknya semakin
dekat, ia menghampiriku melemparkan senyum manisnya padaku. “Kak Arya?” aku menyapa.
“Ngapain
sendirian? Ga takut kesambet lagi?”
Ia terus memberikan senyumnya disaat aku
masih terkejut dengan kehadirannya.
“Oh iya, Kak selamat ulang tahun. Ini,”
aku dengan spontan mengeluarkan kotak kado dari dalam tasku dan segera
memberikannya padanya.
Ia pun menerima dan membalas ucapanku,
“Makasih ya dek”
“Sama-sama kak, kok kamu bisa ada
disini?”
“Iya di kasih tau Risky”
“Oh kak Risky.. pantes tadi dia bbm
ternyata disuruh kamu”
“eh engga bukan aku yang nyuruh, dia
tiba-tiba yang nyuruh aku kesini. udah mau gelap nih, ga mau pulang?”
“bentar kak, liat deh” Aku menunjuk
sebuah daun berukuran sedang berwarna merah berbentuk hati yang tidak jauh
berada dekat dengan kakinya, dan sedikit kucal karena sepertinya daun di jalan
sudah pasti diinjak-ijak pejalan kaki. “itu ibarat hati aku sekarang tuh kak”
“hm pulang yuk, nanti makin malam kita
disini”
Aku hanya mengangguk melihat ia bangun
dan mengajakku berdiri dari dudukku.
Sikap dinginnya
mulai kembali menusuk, tanda tanya dalam otakku semakin membesar. Apa yang ia
inginkan? Hanya terpaksa datang kesini atas paksaan temannya? Tidak mungkin
kalau tidak ada rasa mau menjemputku kemari. Ah sudahlah, lama-lama bisa gila,
keluhku.
Keluar
pintu gerbang kebun raya bogor, gerimis kembali membasahi jalan. Ia
meminggirkan motornya dan menawariku untuk berteduh. Tapi aku menolak, “lanjut
aja kak, ga besar kok hujannya”
Dia hanya diam tanpa menjawab sedikit
pernyataanku.
“udah ga apa-apa kak, yuk!”
Motor yang dikendarainya pun melintas
dengan kecepatan yang tidak begitu lambat dan juga tidak begitu cepat, hujan
semakin lebat, ia berhenti di jalan salak tepat di depan tempat makan makaroni
panggang. “Mampir disini ga apa-apa kan dek?”
“Iya iya kak, kamu laper?”
“Iya sekalian neduh, hujannya lebat
gitu”
Tempatnya cukup
luas, berlantai dua, suasananya nyaman, banyak pohon dan terdapat ayunan di
halaman depan, sepertinya dulu ini merupakan tempat tinggal, yang dijadikan
tempat usaha. Ada beberapa rumah makan sejenis di sekitarnya, seperti Home of
Cup Cakes dan Apple Pie. Kami masuk melalui teras, yang sudah mulai terisi
beberapa meja, kemudian aku dan Kak Arya naik ke lantai dua, yang ternyata
tempatnya lebih sumpek dan sempit, akhirnya kami turun ke bawah dan memilih
salah satu sudut, di depan piano, yang tak bisa dipakai, depan dapur dan meja
kasir.
Kita memesan dua
macaroni berukuran small dan satu fried potato and sosis. Sedangkan minumnya,
Kak Arya memesan hot tea dan aku ice tea. Pelayanan yang tidak terlalu lama.
Setengah jam pesanan kita sudah dapat memakan makanan yang cukup memuaskan
perut. Aku teringat dengan ucapan kak Risky siang tadi, aku langsung mengirim
pesan untuk bertanya tentang rencana mereka. “Kak, jadi mau ngerjain Kak Arya
dimana?”
“Sekarang lo dimana dek? Udah sama
Arya?”
“di MP kak, kalian mau kesini aja kita
jebak disini?”
“Kita sekarang dirumah Arya, semua
anak-anak disini. Kita tunggu disini aja dek”
“Tapi masih hujan kak, mungkin agak
malem”
“Iya lekas kabarin kalau kalian jalan
pulang”
“Iya kak”
Kak Arya seperti gelisah melihat-lihat
telepon genggamnya, “kenapa kak?”
“Ini udah malem dek.. kamu kemaleman ga
apa-apa?”
“Ya ampun kak.. aku kira kenapa, iya ga
apa-apa kok. Aku bbm papah juga pasti ngerti kalo sekarang hujan”
Satu jam kemudian setelah makan, jam
sudah menunjukan pukul 9 tepat, ”udah reda dek, mau pulang sekarang?”
“Iya terserah kakak aja”
Tiba-tiba aku
panik, kalau aku diantar kak Arya sampai rumah, aku ga bisa ikut kerumah Kak
Arya. Aku pun ijin ke toilet sebentar, segera mengeping!!! Dan meminta nomor
kak Risky, tetapi semua bbm ku tidak ada balasan bahkan D terus. Aku putus asa
dan kembali menghampiri Kak Arya. “Maaf ya kak lama, yuk pulang”
Tidak ada
percakapan disepanjang jalan pulang, udara malam semakin terasa dingin pada
tubuh kecilku. Ketika tiba dirumah, rintik hujan masih menemani kami. Aku pun
turun dan mengucapkan terima kasih untuk hari ini. “Makasih ya kak, semoga suka
dengan kadonya”
“Iya dek, kakak seharusnya yang bilang
terima kasih. Kakak ga mampir ya, sudah malam. Salam untuk papah kamu” ia
mengarahkan tangan kanannya ke arahku, seakan memintaku untuk bersalaman dan
menciup tangannya ke keningku.
“Kakak pulang dulu ya” tubuhku yang
dingin berubah menjadi hangat atas sikapnya yang ia tunjukan kali ini.
“Iya kak, hati-hati ya” aku membalas
dengan mencium tangannnya.
Apa ini sebuah harapan baru? Ada
kehangatan dibalik sikap dinginnya padaku, aku merasakan kehangatan itu
sekarang. Perasaanku semakin jelas. Aku tidak bisa mengurangi kekagumanku
padanya, Tuhan.. bantu aku untuk menyikapi perasaan ini. Hati kecilku berdoa sambil
membuka pintu kamar tidurku.
Baru
saja pintu kamarku kembali ku tutup, telepon genggamku bergetar dan ada
panggilan masuk dari nomor tidak ku kenal.
“Halo”
“Dek, keluar deh”
“Ini siapa?”
“Risky, Risky..”
“Kak Risky? Depan rumah kak?”
“Iya dek, katanya mau ikut kerumah Arya”
“Oh iya kak, tunggu sebentar ya”
Malam sudah
semakin larut, papah sudah masuk kamar tidurnya begitu pun dengan yang lain.
Pintu rumah sengaja ku kunci dan berniat aku bawa agar tidak mengganggu yang
lain ketika pulang nanti. Aku berjalan perlahan menuju pintu gerbang rumahku,
terlihat sosok Kak Arya berdiri beberapa meter dari gerbang rumahku bersama
teman-temannya. Aku terkejut dan merasakan muka ku sudah mulai memerah melihat
kejadian ini. “Kak Arya? Kok bukannya pulang?”
Hahaha ciyeee, suara tawa serta ledekan
satu persatu teman-temannya terdengar di telingaku.
“Ini yang ulang tahun siapa sih? Kok aku
yang dikerjain?” tanyaku pada mereka.
“yang ulang tahun emang Arya dek, tapi
ini moment bagus buat lo sama Arya. Yakan ar?” timpal salah satu temannya yang
lain dengan nada meledek.
“Kak Risky nih ya rese banget, tau gitu
daritadi siang bbm ga gue bales kak”
“Ah.. nanti nyesel.. haha” Kak Risky
kembali membuat wajahku semakin tersipu malu.
“Ini emang rencana mereka dek, tapi
perasaan aku diluar dari rencana mereka” tegas Kak Arya.
“Eciyeee…” sekumpulan mereka berteriak
kompak.
“Ssst udah malem woy, ga enak ini
wilayah orang” tegas Kak Arya kepada teman-temannya.
“Yauda cepatlah.. lama nih” desak kak
Risky kepada kami.
Aku hanya diam menutupi rasa malu dan
bahagia atas kejadian tak ku duga malam ini.
“Kita pacaran dek” singkat kata kak Arya
melontarkan kata itu.
“Lah, lo gimana sih Ar? Romantis dikit
lah, anggap aja lo lagi berdua doang kita ga ada” ucap dari kekasihnya kak
Risky yaitu kak Nanda.
“Masa masih gue ajarin juga sih?” Kak
Risky menambahkan.
“Pada bawel-bawel nih, grogi gue” begitu
jujurnya kalimat yang ia keluarkan membuatku menujukkan senyum simpul padanya.
“Aku
sayang kamu kak” aku memulai keheningan yang sempat terjadi beberapa detik.
“He
iya dek, kakak juga. Kamu mau jadi pacar kakak?”
“Akhirnya…”
keheningan tidak berlangsung lama, mereka kembali meramaikan suasana malam itu.
“Kita
dukung 100% dek, diterima nikah dan kawinnya kan?” Kak nanda memukul kekasihnya
yang asal ceplas ceplos itu. “Bercanda
ya dek..”
Dengan
tertawa kecil aku pun menjawab pertanyaan Kak Risky sekaligus menjawab
pertanyaan Kak Arya “Iya kak, aku ga akan nolak” :)