Sunday 18 August 2013

Setengah angan sudah tiba di kampung



“Neng.. bangun  neng, dipanggil Ibu” suara bi ebah terdengar di balik pintu kamar Ismi. Gadis berumur 13 tahun berdarah sunda betawi itu masih terlihat sedang memanfaatkan waktu tidurnya setelah sahur pagi tadi.
Sambil mengulet, perlahan dua matanya terbuka untuk meyakinkan apakah matahari sudah benar-benar berada di atas kepalanya. “Ya Allah… Ismi mimpi, Biiii. Iya, iya nanti Ismi turun bi tolong bilang Ibuuu” Dengan nada keras ia berharap bi ebah mendengar suara teriakannya itu.
Bergegas menuju kamar mandi yang berada di sudut kamarnya, ia pun bercermin lalu mencuci muka hingga beberapa menit ia sudah merasa lebih segar dan tidak lagi melihat wajah yang masih mengantuk seperti saat bangun sahur tadi.
Kurang lebih setengah jam ia di dalam kamar memikirkan apa yang ia mimpikan begitu teramat nyata, panas. “Untung dibangunin bi ebah, kalo engga Ismi ga tau segerah apa di dalam mimpi tadi” ucap Ismi dalam hati. Setelah bolak balik kamar mandi untuk bercermin bahwa dirinya baik-baik saja, ia menenangkan dirinya untuk bercerita kepada Ibu tanpa rasa panik.
“Bu, bu…” melangkah menuruni anak tangga, Ismi menghampiri Ibunya yang sedang fokus menatap layar handphone. “Bu, Ismi mau cerita Ismi mimpi deh bu.”
“Sebentar-sebentar nak, Ibu lagi jawab pesanan teman Ibu” mendengar nada serius yang ditunjukkan Ibu, Ismi pun menuju ke halaman belakang menemui bi ebah. Seorang pembantu rumah tangga yang memang sudah beberapa tahun belakangan membantu keluarga mereka dalam mengurus kebersihan dan keperluan rumah.
Melihat bi ebah yang sedang menyapu daunan berserakan di bawah pohon, Ismi duduk sambil merenungi betapa teduhnya halaman rumah mereka. “Neng, kunaon bengong?” tegur bi ebah.
“ehehe engga bi, ehiya bi kita hari ini buat kue apa? Ibu udah ngadon?” istilah yang dipakai Ismi untuk menyebut adonan yang akan mereka olah di setiap loyangnya lalu masuk ke oven hingga di tata ke dalam toples dan berakhir di mulut serta perut penikmat kue-kue khas lebaran.
“Tadi teh Ibu udah buat itu ada di kulkas neng, mau bibi keluarkan bibi teh malah ke atas bangunin eneng.”
“Oh gitu bi, yaudah biar Ismi aja yang keluarin biar ga keras kan?” tanyanya pada bibi.
“Iya neng, tadi Ibu manggil eneng biar mulai ngerjain itu tapi teh bibi belum selesai bersih-bersihnya.” Dengan logat sundanya bi ebah menjelaskan.
Memang baru kemarin Ismi belajar menggiling serta mencetak adonan kue putri salju. Dan hari ini Ibu berniat menyelesaikan pesanan kue nastar yang memang paling banyak diminati oleh pelanggan tiap tahunnya.
Ismi pun mengangkat meja berbentuk persegi yang terbuat dari kayu, mengelap beberapa loyang yang berjejer rapi bersampingan dengan oven yang berukuran cukup besar. Mengambil perlengkapan giling dan cetak serta tepung terigu untuk alas adonan agar tidak lengket dengan meja saat proses cetak.
Ibu membiarkan Ismi memulai pekerjaannya sendiri hingga ia bertanya sesuatu yang belum benar-benar ia pahami. Melihat cetakannya berbeda, Ismi pun menghampiri Ibunya. “Bu, masih sibuk?”
“Sudah nak, ini sudah selesai.” Berjalan ke arah wastafel untuk mencuci tangan lalu duduk di atas tikar berhadapan dengan anak perempuannya. Dengan kelembutan seorang Ibu, Ismi pun menyimak banyak aturan-aturan yang harus ia lakukan beberapa jam ke depan.
Mengambil sedikit demi sedikit adonan yang di lihat kasat mata tidak begitu banyak namun terlihat cukup padat sehingga untuk diselesaikan dalam 3 jam pun tidak akan selesai. “Bi, lihat ini deh Ismi udah bulet-buletin segitu banyak masa adonannya ga abis-abis” keluhnya sesaat sebelum ia memutuskan untuk beristirahat sebentar lalu sholat zuhur.
***
Sekembalinya Ismi ke bagasi belakang rumah yang memang sengaja digunakan untuk kesibukkan membuat kue tak terlihat sang Ibu ataupun bi ebah disana. Terdengar bunyi oven *teeet* tanda menit yang ditentukan oleh Ibu berlalu, dan sesegera mungkin dua buah loyang yang berada di dalam oven dikeluarkan agar tidak terpanggang terlalu lama. Dengan sarung tangan khusus, ini pertama kali Ismi memberanikan diri menyentuh oven dalam keadaan suhu masih panas.
Setelah berhasil memindahkan kedua loyang dari dalam oven, ia kembali mencetak adonan yang masih tersisa untuk di bulat-bulatkan hingga di cetak menggunakan cetakan kerang. Beberapa menit ia melakukan pekerjaan itu sendiri, bi ebah menyusul duduk berjarak setengah meter dari Ismi.
“Ibu sholat ya bi?” tanya Ismi kepada bi ebah.
“Iya neng, bibi juga abis sholat terus rebahan sebentar” jawabnya.
“Kalo ngantuk tidur aja lagi bi, ini kan tinggal dioles masuk ke oven lagi nunggu Ibu” saran Ismi.
“Ga enak atuh neng sama Ibu” dengan nada merendah, tangannya sibuk membulat-bulatkan adonan.
                                                                        ***
            Tiba-tiba saja lantunan lagu terdengar dari mulut bi ebah, suara khasnya menyanyikan sebuah lagu berbahasa jawa.
“Bibi suka nyanyi ya? Tanya Ismi dengan penuh rasa penasaran di dalam dirinya.
Entah itu bahasa jawa atau sunda yang dinyanyikan bibi, yang Ismi tau bi ebah merupakan orang sunda, sama seperti Ibu. Mereka saling berbicara menggunakan bahasa sunda dalam berkomunikasi di rumah. Ismi pun hanya dapat mendengarkan tanpa mengerti benar-benar apa arti percakapan mereka.
“Bah… tolong keju bola di parut, bah” teriak Ibu dari dalam memberi tugas untuk bibi.
“Kayak biasa bu?” tanyanya lagu.
“Iya atuh bah, potong 4 dulu.. nanti di taker sama maneh pake timbangan ada di deket kulkas ibu taro abis nimbang buat bahan adonan tadi pagi” jelas Ibu.
Selesai Ibu memberi perintah kepada bibi, Ibu menyiapkan beberapa kuning telur untuk mengoles kue nastar yang sudah setengah matang. Dan Ismi pun kembali diajarkan cara mengoles dengan sangat telaten. “Jangan berceceran ya neng…” ledek Ibu.
Dengan sangat hati-hati dan serius Ismi menyelesaikan satu persatu kue nastar yang berada di dalam loyang. Sedangkan Ibu, sibuk menyelesaikan adonan bulat menjadi nastar kerang hingga memasukkannya ke dalam oven sesuai suhu yang ditentukan.
            Hingga tak terasa waktu berjalan seakan dua kali lipat. Ismi sudah kembali mendengar suara panggilan sholat, azan ashar berkumandang dari masjid terdekat rumahnya. Ibu menyuruh Ismi menyudahi polesan kue dan lekas melaksanakan sholat. “Bah..lagi ngapain maneh teh? Gantian sholat ya bah.” Ucap Ibu.
                                                                        ***
            Serapinya pekerjaan bi ebah mengurus pakaian yang sempat ia cuci pagi tadi, ia menyibukkan diri di dapur menyiapkan bahan masakan untuk menu berbuka sore itu.
“Udah sholat bi?” tanya Ismi.
“Udah neng, pinter si eneng Ismi teh cepet udah mau selesai aja bantuinnya.” Puji bibi.
“Emang biasanya lebih lama dari ini ya bi?” pertanyaan Ismi kepotong tak terjawab mendengar perintah Ibu yang menyuruh Ismi menyusun kue putri salju yang masih seloyang lagi untuk di masukkan ke dalam toples.
“Bah.. gula na saek iye?” tanya Ibu menghampiri bi ebah ke arah dapur.
“teu saek bu, ebah taruh di lemari kaca” jawab bibi.
Ismi pun berjalan mengambil keperluan yang ia butuhkan termasuk kardus berisi toples yang setiap kardusnya berjumlah selusin.
“Ditebelin mih bedaknya kurang medok” Ibu mengomentari toples kue putri salju yang sudah terisi terlihat agak kosong.
Terdengar suara tawa bi ebah dari arah dapur membuat Ismi ikut menertawai ucapan Ibunya. “Si ibu aya-aya wae neng yeu” sambil membawa bumbu di tangan untuk di laporkan kepada nyonya besar.
“Bu, segini cukup enteu?” bi ebah melempar tanya.
“Bu, kemedokan ga nih? Ismi menambahkan.
            Setelah menjawab pertanyaan mereka, Ibu kembali memulai memasak makanan berbuka. Menu sore itu kangkung udang dan tahu goreng tepung. “Keburu bu.. jangan buru-buru nanti teh kena minyak panas”
Mendengar kata-kata panas itu, Ismi teringat mimpinya. Ia lupa menceritakan pada Ibunya kejadian yang terlwati melalui tidurnya. “Ah, sudahlah mi hanya mimpi” ucap kata hati Ismi.
“Bu, tadi kok zuhur ga ada khutbah bu? Tanya lugu bibi selalu menjadi perhatian oleh Ismi. Ia menyimak percakapan yang dibuat oleh bi ebah dengan Ibunya.
“Ebah teh kumaha, hari ini keun kamis. Kamu pikir jum’at” perjelas Ibu.
Sambil menahan tawa, wajah Ismi yang sedang terbingung dan lelahnya menyimpulkan senyum.
“Oiya ya, kamis sekarang ebah pikir teh jum’at bu…” logat sunda bi ebah masih teramat kental.
“Begitu tuh kamu, badannya disini.. pikiran kamu udah dikampung aja bah, bah.” Ledek Ibu.
“Ciyeee bi ebah udah mau cepet-cepet pulang aja ya bu, nanti kita kesepian ga ada yang nyanyi-nyanyi lagi” Ismi menambahkan hingga percakapan semakin hangat.
“Bibi teh sebenernya engga tega eneng, ninggalin ibu lagi sibuk-sibuknya begini pesanan belum selesai semua.. tapi teh kumaha ebah harus pulang anak-anak bibi udah pada nungguin” jawab bibi dengan sedikit rasa prihatin.
“Biarin, jatah thr bibi ibu potong mih biar pulangnya nanti-nantian” nada canda Ibu melontarkan tawa kepada Ismi.
“Haha iya bu, bi ebah juga biasa pulang seminggu sebelum lebaran ini masih dua minggu loh bii” rayu Ismi.
“Aduh eneng, anak-anak bibi 6 bulan belum bibi datangi lagi udah minta ini itu bibi juga kan punya kewajiban neng di kampung. Suami bibi balik lagi sama istrinya neng, gak apa apa bibi urus bukan anak kandung juga yang penting ke urus..” tegasnya.
Mendengar alasan yang diucap oleh bi ebah membuat Ismi tak lagi berniat untuk menahan kepulangan bibi yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri “Hehehe bi ebah, Ismi bercanda bi.. nanti hati-hati ya bi pulangnya. Ismi bawain cokelat deh buat anak-anak bibi..”
“Naon eneng, teu usa ngerepotin. Udah dibawain kue empat leker sama Ibu” tolak bi ebah.
“Yah bibi, kan beda lagi dari Ismi sama dari Ibu.” Ismi terus menawari memberikan cokelat yang dijual temannya menjelang lebaran seperti sekarang.
Di tengah perbincangan mereka, terdengar suara azan magrib menandakan buka puasa untuk daerah jakarta dan sekitarnya.
“Bah…maneh lupa seduh minum keasikan ngobrol, kumaha” tegur Ibu.
Bi ebah pun bergegas menuang air panas ke dalam gelas yang sudah terisi gula dan teh, memindahkan tahu yang sudah di goreng oleh Ibu agar dapat mereka santap bersama.
Ismi membawakan air putih untuk membatalkan puasa sore itu. “Bah.. batalin dulu bah, jatohnya puasa kamu haram kalo denger azan ga langsung maneh batalin” nasihat Ibu kepada bibi.
Setelah menutup azan dengan membaca doa sesudah azan dan membaca niat berbuka puasa, mereka terlihat asik menyicip gorengan serta beberapa kue nastar yang sudah matang. Sesaat berbuka, Ismi pun memberikan setoples cokelet putih kepada bi ebah untuk dibawanya mudik nanti.
“Enak teu bah?” tanya Ibu.
“Ga pernah ga enak bu masakan ibu” puji bibi sambil menikmati cokelat yang diberikan Ismi.
“Naon bah? Ibu masak cokelat?”
                                                                        ^_^
#LATEPOST