Saturday 15 June 2013

Membakar Hujan


Rintikan hujan kembali membuka pagi ini, pagi yang dingin dengan mimpi yang masih hangat semalam. Secangkir susu hangat dan tumpukan roti berlapis keju sudah berada di atas meja makan. Aku membawanya ke teras depan agar dapat melihat jelas suasana hujan di luar, mataku tertuju pada koran yang seakan meminta untuk dibaca, koran harian lalu yang untuk sebagian orang mungkin tidak lagi hangat.


Berita yang akan selalu ada di musim penghujan ini masih tentang banjir, membahas beberapa wilayah Indonesia yang terendam banjir terutama Ibukota Jakarta. Bencana atas ulah manusia dan berdampak pula pada mereka. Di jakarta bagian pusat dan juga titik-titik yang setiap tahunnya rawan banjir harus merasakan hal serupa lagi. Setelah membaca beberapa halaman, aku pun melipat kembali koran sambil menyeruput susu yang hangatnya sudah mulai menghilang. Lamunanku berhenti pada mimpi tadi malam, bagaimana bisa aku memimpikan payungku? Payung lipat bercorak dan berwarna klasik itu berada di tangan seseorang yang tidak aku kenal. “Wajar.. satu buah payung kan ga cuma dimiliki satu orang, mimpi memang terkadang sesuatu yang tidak penting seakan menjadi sangat penting”, ucapku terlintas dan membiarkan mimpi itu keluar dari mimpiku.

Pada dasarnya, aku sangat tidak menyukai sesuatu yang merepotkanku. Membawa payung dalam tas kemanapun aku pergi, hanya saja karena ibu menyuruhku agar berjaga-jaga jika hujan datang tiba-tiba dan aku membutuhkan payung itu. “sedia payung sebelum hujan, nak” begitu ibu berpesan. Aku pun menuruti nasihat ibu. Sebuah payung pemberiannya tidak pernah aku keluarkan dari tas pergiku.

Suatu hari, aku lupa memindahkan payung ketika aku berniat untuk mengganti tas kuliah hari itu. Walaupun hujan cukup deras, aku diantar oleh ayah sehingga aku pikir aku tidak membutuhkan payung lipat dalam tasku. Dari dalam mobil aku sungguh menikmati pemandangan dibawah hujan turun, payung-payung terbuka lebar meneduhkan mereka yang tidak ingin pakaian rapi mereka dibasahi air hujan lalu merusak penampilan mereka.

          Mataku tertuju pada anak laki-laki seusia adikku, umurnya terlihat kasat mata antara 10 hingga 12 tahun. Dia berdiri di depan toko yang masih tutup, tepat di pinggir jalan itu terdapat sebuah pasar dan juga sekolah membuat banyak orang berlalu lalang menyebrangi jalan tersebut. Dengan wajahnya yang polos, tidak memperlihatkan beban di wajahnya. Senyumnya kesetiap orang yang ia tawari jasa payungnya. Hanya sebuah payung di tangannya tanpa ada payung lain di tangan sebelahnya.

          Rasa teramat penasaranku tidak lagi dapat ku bendung. Di kemacetan pagi itu, tepat lampu merah memberhentikan kendaraan-kendaraan menuju kawasan depok. Beberapa angkutan umum sedang menunggu penumpang di koridor kiri jalan. Perhatianku masih ke arah anak kecil berwajah lugu. Beberapa detik lampu lalu lintas berganti menjadi warna kuning, kemudian lampu hijau membuat mobil yang dikendarai ayah mulai kembali melaju. Aku pun hanya dapat sebatas berharap agar esok aku melihatnya lagi seperti pagi ini.

***

“Kak, payungnya kak?” suara itu perlahan menyentuh telingaku.

“Kakak bukan mau nyebrang de.. lagi nunggu teman kakak” jawabku.

Dengan raut wajah yang terlihat sedikit kecewa ia berjalan melewati arahku, aku berniat untuk mengejarnya.

“dek, dek.. kakak boleh ngobrol sebentar ga? Temenin kakak nunggu teman kakak ya?”

“tapi kak,..” ketika ia menjawab pertanyaanku, aku merangkul pundak kecilnya yang setinggi bahuku.

“kita ngobrol disini aja dek” tepat di depan toko kue aku pun menawarkannya, “kakak tadi di rumah belum sempat sarapan nih dek, kamu mau yang mana?” menunjuk beberapa dagangan seorang ibu dari luar kaca jendela toko.

“kakak mau beliin aku? Jawabnya lugu.

“iya, mau yang mana? Kakak yang ini aja ah” sambil menunggu si ibu membungkusnya, ia menyusul pesananku. “aku juga mau yang itu deh kak”

“oh yauda, yang itunya dua bungkus lagi ya bu.” Ucapku pada ibu penjual kue.

“nih, ini dua-duanya buat kamu. Di simpan untuk nanti kalau kamu laper lagi” begitu pesanku.

Bungkusan kue yang berisi risol dan onde-onde diikatnya di pergelangan tangannya. “terima kasih ya kak”

“sama-sama dek, di makan dong. Eh iya kamu rumahnya dimana sih? Mencoba untuk membuka obrolanku pada dia yang aku sebut si anak payung teduh.

Berbagai perbincangan kami bertanya jawab dan akhirnya aku sedikit mengetahui latar belakang dirinya yang ternyata ia bernama hanif. Kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai penyapu jalan raya penghubung kota Bogor, Depok dan Jakarta. Ia memiliki satu kakak laki-laki yang masih dapat berjuang menempuh pendidikan formal hingga SMA. Sedangkan ia terpaksa bersekolah di sekolah terbuka bersama anak-anak jalan yang lain.

Melalui hanif, aku mempelajari perjuangan seorang anak terhadap dirinya dan keluarganya. Beban yang harus ia tanggung adalah menahan keinginan untuk bersekolah seperti kakaknya dan tetap membantu orang tua mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Walau dengan begitu, ia masih mampu menunjukkan pada semua orang kalau ia bekerja tanpa beban. Penuh suka cita dan memunafikkan perasaannya ke setiap mata yang memandangnya hanya seorang anak yang tidak memiliki masa depan.

Sinyal terkuat dari harapan seorang anak kecil adalah bola matanya. Harapan itu ada pada dua bola mata hanif, harapan dapat membantu sesama dan tetap berjuang demi kedua orang tuanya. Dibawah hujan sederas apapun, hanif membiarkan tubuh kecilnya menahan dingin untuk mereka yang menanti kedatangannya mengantar sebuah payung. Hanif bagai pahlawan pagi bagi mereka yang membutuhkan jasa seorang ojeg payung.

“Teman kakak ga datang-datang kak?” tanyanya khawatir.

“Iya nih nif, kakak naik angkutan umum aja deh. Kamu hati-hati ya, besok kita ketemu lagi.” Sapa terakhirku pada hanif.

“Aku antar kak, ini masih gerimis” gegas hanif ingin mengejarku.

“Gausa nif..” dengan jalan terburu-buru aku melambaikan tangan pada si kecil pahlawan payung itu.

***

 

Selang beberapa hari aku tak sempat menemui hanif, pagi ini aku berniat untuk melepas payung lipat kesayanganku pada hanif.

“Nif, pasti kamu butuh ini kan?” tanyaku dengan melempar senyum padanya.

“Ini payung kakak?” ia kembali bertanya.

“Iya nif, aku titip di kamu ya. Bisa kamu pakai kalau-kalau orang yang kamu antar lebih dari satu orang sekaligus, kamu ga perlu lagi menutupi kepala kamu dengan plastik lagi..” jawabku penuh ceria agar membangkitkan gairah semangatnya.

“Kakak baik sama hanif, hanif ga bisa kasih kakak apa-apa” balasnya seakan haru.

“Aduh hanif, ga usah dipikirin. Kamu kan udah lebih berbuat baik banyak ke semua orang yang selama ini kamu bantu. Kakak cuma baru bisa bantu ini ke kamu. Terima ya?” bujukku penuh hangat.

“Terima kasih ya, kak. Sore ini kakak mau ikut ke sekolah aku ga melihat keadaan disekolahku?  Tanyanya dengan pengharapan.

“Wah.. boleh tuh, jam berapa nif? Aku balas dengan sedikit rasa penasaranku.

***

Sepulang aktivitas kuliahku, aku kembali bertemu hanif di ujung jembatan pasar palapa. Ia terlihat membawa tumpukan plastik yang biasa ia tawarkan pada ibu-ibu yang selesai berbelanja. Meskipun lelah, ia tidak benar-benar menunjukkan beban lelah itu padaku, pada mereka teman-teman disekitarnya.

“Kak, sekolahku disini.” Sambil berjalan, ia mengarahkan tangan dan matanya pada tempat yang biasa ia habiskan untuk menambah ilmu pengetahuan dari para pejuang berjiwa sosial tinggi. Pemuda-pemudi yang dapat membagi waktu serta wawasannya pada mereka anak-anak yang butuh perlindungan dan perhatian lebih negara.

Setelah aku menyempatkan diri berkunjung ke tempat dimana sebelumnya tidak pernah aku temui, rasa empatiku begitu besar pada mereka terutama hanif. Jiwa sosial itu semakin meninggi. Aku berencana untuk mengajak beberapa teman untuk membantu pendidikan mereka dengan berbagi berbagai macam buku serta waktu senggang kami sebagai mahasiswa. Dengan cuaca mendung, hujan, panas sekalipun, kita dapat membakar jiwa-jiwa keterpurukan yang ada dalam diri kita.

SELESAI

Wednesday 5 June 2013

silent and keep writing~

Muak! satu kata yang tergelincir di pikiran tiap kali liat manusia yang selalu merasa dirinya sempurna. bener ga?

menjudge orang lain tanpa mau bercermin itu namanya apa sih?

iri, dengki, syirik? entah lah

setiap orang ke orang pasti punya kekurangan dan kelebihan masing-masing ders, kita berhak kok menilai orang lain seburuk ataupun sebaik apapun. tapi.. tau etika, tau tempat dan tau dampak dari apa yang kalian ungkapkan. apalagi di public, social media sekalipun orang-orang di dalamnya punya pandangan sendiri-sendiri untuk menilai apa yang mereka liat dan mereka baca.

semua orang punya privacynya masing-masing tanpa harus kalian nyinyir, nyindir, celenahan yang cuma kalian tunjukkan kalau kalian ga dapat merasakan privacy yang sama. sabar ya :)