Membakar Hujan
Rintikan hujan
kembali membuka pagi ini, pagi yang dingin dengan mimpi yang masih hangat
semalam. Secangkir susu hangat dan tumpukan roti berlapis keju sudah berada
di atas meja makan. Aku membawanya ke teras depan agar dapat melihat jelas
suasana hujan di luar, mataku tertuju pada koran yang seakan meminta untuk
dibaca, koran harian lalu yang untuk sebagian orang mungkin tidak lagi hangat.
Berita yang akan
selalu ada di musim penghujan ini masih tentang banjir, membahas beberapa
wilayah Indonesia yang terendam banjir terutama Ibukota Jakarta. Bencana atas
ulah manusia dan berdampak pula pada mereka. Di jakarta bagian pusat dan juga
titik-titik yang setiap tahunnya rawan banjir harus merasakan hal serupa lagi.
Setelah membaca beberapa halaman, aku pun melipat kembali koran sambil
menyeruput susu yang hangatnya sudah mulai menghilang. Lamunanku berhenti pada
mimpi tadi malam, bagaimana bisa aku memimpikan payungku? Payung lipat bercorak
dan berwarna klasik itu berada di tangan seseorang yang tidak aku kenal.
“Wajar.. satu buah payung kan ga cuma dimiliki satu orang, mimpi memang
terkadang sesuatu yang tidak penting seakan menjadi sangat penting”, ucapku
terlintas dan membiarkan mimpi itu keluar dari mimpiku.
Pada dasarnya, aku
sangat tidak menyukai sesuatu yang merepotkanku. Membawa payung dalam tas
kemanapun aku pergi, hanya saja karena ibu menyuruhku agar berjaga-jaga jika
hujan datang tiba-tiba dan aku membutuhkan payung itu. “sedia payung sebelum
hujan, nak” begitu ibu berpesan. Aku pun menuruti nasihat ibu. Sebuah payung
pemberiannya tidak pernah aku keluarkan dari tas pergiku.
Suatu hari, aku lupa
memindahkan payung ketika aku berniat untuk mengganti tas kuliah hari itu.
Walaupun hujan cukup deras, aku diantar oleh ayah sehingga aku pikir aku tidak
membutuhkan payung lipat dalam tasku. Dari dalam mobil aku sungguh menikmati
pemandangan dibawah hujan turun, payung-payung terbuka lebar meneduhkan mereka
yang tidak ingin pakaian rapi mereka dibasahi air hujan lalu merusak penampilan
mereka.
Mataku
tertuju pada anak laki-laki seusia adikku, umurnya terlihat kasat mata antara
10 hingga 12 tahun. Dia berdiri di depan toko yang masih tutup, tepat di
pinggir jalan itu terdapat sebuah pasar dan juga sekolah membuat banyak orang
berlalu lalang menyebrangi jalan tersebut. Dengan wajahnya yang polos, tidak
memperlihatkan beban di wajahnya. Senyumnya kesetiap orang yang ia tawari jasa
payungnya. Hanya sebuah payung di tangannya tanpa ada payung lain di tangan
sebelahnya.
Rasa
teramat penasaranku tidak lagi dapat ku bendung. Di kemacetan pagi itu, tepat
lampu merah memberhentikan kendaraan-kendaraan menuju kawasan depok. Beberapa
angkutan umum sedang menunggu penumpang di koridor kiri jalan. Perhatianku
masih ke arah anak kecil berwajah lugu. Beberapa detik lampu lalu lintas berganti
menjadi warna kuning, kemudian lampu hijau membuat mobil yang dikendarai ayah
mulai kembali melaju. Aku pun hanya dapat sebatas berharap agar esok aku
melihatnya lagi seperti pagi ini.
***
“Kak,
payungnya kak?” suara itu perlahan menyentuh telingaku.
“Kakak
bukan mau nyebrang de.. lagi nunggu teman kakak” jawabku.
Dengan
raut wajah yang terlihat sedikit kecewa ia berjalan melewati arahku, aku
berniat untuk mengejarnya.
“dek,
dek.. kakak boleh ngobrol sebentar ga? Temenin kakak nunggu teman kakak ya?”
“tapi
kak,..” ketika ia menjawab pertanyaanku, aku merangkul pundak kecilnya yang
setinggi bahuku.
“kita
ngobrol disini aja dek” tepat di depan toko kue aku pun menawarkannya, “kakak
tadi di rumah belum sempat sarapan nih dek, kamu mau yang mana?” menunjuk beberapa
dagangan seorang ibu dari luar kaca jendela toko.
“kakak
mau beliin aku? Jawabnya lugu.
“iya, mau yang mana? Kakak
yang ini aja ah” sambil menunggu si ibu membungkusnya, ia menyusul pesananku.
“aku juga mau yang itu deh kak”
“oh yauda, yang itunya dua
bungkus lagi ya bu.” Ucapku pada ibu penjual kue.
“nih, ini dua-duanya buat
kamu. Di simpan untuk nanti kalau kamu laper lagi” begitu pesanku.
Bungkusan kue yang berisi
risol dan onde-onde diikatnya di pergelangan tangannya. “terima kasih ya kak”
“sama-sama dek, di makan
dong. Eh iya kamu rumahnya dimana sih? Mencoba untuk membuka obrolanku pada dia
yang aku sebut si anak payung teduh.
Berbagai perbincangan
kami bertanya jawab dan akhirnya aku sedikit mengetahui latar belakang dirinya
yang ternyata ia bernama hanif. Kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai
penyapu jalan raya penghubung kota Bogor, Depok dan Jakarta. Ia memiliki satu
kakak laki-laki yang masih dapat berjuang menempuh pendidikan formal hingga
SMA. Sedangkan ia terpaksa bersekolah di sekolah terbuka bersama anak-anak
jalan yang lain.
Melalui hanif, aku
mempelajari perjuangan seorang anak terhadap dirinya dan keluarganya. Beban
yang harus ia tanggung adalah menahan keinginan untuk bersekolah seperti
kakaknya dan tetap membantu orang tua mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Walau dengan begitu, ia masih mampu menunjukkan pada semua orang kalau ia
bekerja tanpa beban. Penuh suka cita dan memunafikkan perasaannya ke setiap
mata yang memandangnya hanya seorang anak yang tidak memiliki masa depan.
Sinyal terkuat dari
harapan seorang anak kecil adalah bola matanya. Harapan itu ada pada dua bola
mata hanif, harapan dapat membantu sesama dan tetap berjuang demi kedua orang
tuanya. Dibawah hujan sederas apapun, hanif membiarkan tubuh kecilnya menahan
dingin untuk mereka yang menanti kedatangannya mengantar sebuah payung. Hanif
bagai pahlawan pagi bagi mereka yang membutuhkan jasa seorang ojeg payung.
“Teman kakak ga
datang-datang kak?” tanyanya khawatir.
“Iya nih nif, kakak
naik angkutan umum aja deh. Kamu hati-hati ya, besok kita ketemu lagi.” Sapa
terakhirku pada hanif.
“Aku antar kak, ini
masih gerimis” gegas hanif ingin mengejarku.
“Gausa nif..” dengan
jalan terburu-buru aku melambaikan tangan pada si kecil pahlawan payung itu.
***
Selang beberapa hari aku tak sempat
menemui hanif, pagi ini aku berniat untuk melepas payung lipat kesayanganku
pada hanif.
“Nif, pasti kamu butuh ini kan?”
tanyaku dengan melempar senyum padanya.
“Ini payung kakak?” ia kembali
bertanya.
“Iya nif, aku titip di kamu ya. Bisa
kamu pakai kalau-kalau orang yang kamu antar lebih dari satu orang sekaligus,
kamu ga perlu lagi menutupi kepala kamu dengan plastik lagi..” jawabku penuh
ceria agar membangkitkan gairah semangatnya.
“Kakak baik sama hanif, hanif ga bisa
kasih kakak apa-apa” balasnya seakan haru.
“Aduh hanif, ga usah
dipikirin. Kamu kan udah lebih berbuat baik banyak ke semua orang yang selama
ini kamu bantu. Kakak cuma baru bisa bantu ini ke kamu. Terima ya?” bujukku
penuh hangat.
“Terima kasih ya,
kak. Sore ini kakak mau ikut ke sekolah aku ga melihat keadaan
disekolahku? Tanyanya dengan
pengharapan.
“Wah.. boleh tuh, jam berapa nif? Aku
balas dengan sedikit rasa penasaranku.
***
Sepulang aktivitas
kuliahku, aku kembali bertemu hanif di ujung jembatan pasar palapa. Ia terlihat
membawa tumpukan plastik yang biasa ia tawarkan pada ibu-ibu yang selesai
berbelanja. Meskipun lelah, ia tidak benar-benar menunjukkan beban lelah itu
padaku, pada mereka teman-teman disekitarnya.
“Kak, sekolahku
disini.” Sambil berjalan, ia mengarahkan tangan dan matanya pada tempat yang
biasa ia habiskan untuk menambah ilmu pengetahuan dari para pejuang berjiwa
sosial tinggi. Pemuda-pemudi yang dapat membagi waktu serta wawasannya pada
mereka anak-anak yang butuh perlindungan dan perhatian lebih negara.
Setelah aku
menyempatkan diri berkunjung ke tempat dimana sebelumnya tidak pernah aku temui,
rasa empatiku begitu besar pada mereka terutama hanif. Jiwa sosial itu semakin
meninggi. Aku berencana untuk mengajak beberapa teman untuk membantu pendidikan
mereka dengan berbagi berbagai macam buku serta waktu senggang kami sebagai
mahasiswa. Dengan cuaca mendung, hujan, panas sekalipun, kita dapat membakar
jiwa-jiwa keterpurukan yang ada dalam diri kita.
SELESAI
No comments:
Post a Comment