Tuesday 30 April 2013

"kuatkan aku, bu"


Berikut cerpen yang sengaja gue tulis untuk mengikuti kompetisi dengan tema "Perempuan Dalam Cerita" oleh Ika Natassa di blog pribadinya.

            Aku. Panggil saja aku dengan gadis tanpa senyum. Wajahku selalu terlihat murung, begitu sapa teman-temanku. Mereka hanya tahu sedikit tentang kepribadianku. Aku tak jarang diam, tak sering juga berbicara. Pikiranku dipenuhi tanda tanya besar mengapa aku dilahirkan menjadi aku. Bukan dia, ataupun dia. Dengan mata menunjuk kearah perempuan-perempuan yang berlalu lalang dihadapanku.
            Kehilangan, sebuah kata singkat yang sangat menyakitkan untuk dirasakan. Kecilku, sudah mengajarkan betapa berharganya orang lain bahkan benda sekalipun sebelum akhirnya kami harus kehilangan. Sepeda roda empatku, berwarna merah muda dan memiliki keranjang di bagian depannya sempat menjadi teman bermain saat aku berumur balita, tapi aku harus kehilangan itu karena seorang pemulung mungkin lebih layak mengambil dan mempergunakannya. Pikirku di masa sekarang.
            Kehilangan seseorang terdekat lebih menyakitkan dari apapun. Ibu, aku kehilangan kasih sayang serta perhatiannya. Sesosok ibu yang tak bisa lagi aku temui. Wajahnya yang cantik, hanya tidak lebih dari 24 jam dalam 365 hari aku dapat menjumpainya. Apakah adil? Perpisahan dengan ayah berdampak buruk buatku. Jiwaku sepi, tak terarah dan hilang.
            Mataku tertuju pada anak perempuan yang sedang berjalan dengan ibunya, sangat menyenangkan melihat keakraban diantara mereka. Keirianku sering kali muncul setiap momen seperti ini sesekali aku khayalkan. Pada mereka yang begitu mudah menceritakan keluh kesah satu sama lain, tanpa canggung seorang anak kepada ibu ataupun ibu kepada anaknya. Aku lupa bentuk perhatian dan kasih sayang ibu, berbagai macam pesan ibu kepada putrinya. Anak itu menggandeng lengan ibunya yang berparas cantik tidak jauh cantik dengan dirinya.
            Lamunanku berhenti pada perempuan yang hampir lima tahun meramaikan rumah serta mendampingi ayah menghidupkanku. Walau secara kasat mata ia pantas menjadi seorang ibu, bagiku ia hanya sesorang wanita dewasa yang belum memiliki pola pikir dan hati sesdewasa umurnya. Umurku yang memasuki kepala dua berusaha membiarkan dirinya mendidik seperti apa yang ia inginkan.
“kamu jangan makan di luar kalau di rumah ada makanan layak untuk di makan”
“kamu jangan menerima uang lebih selain uang jajan dari ayahmu”
“kamu jangan meminta ayah untuk mengantarmmu”
“kamu harus merapikan dan bantu membersihkan isi rumah setiap paginya”
“kenapa ayah lebih perhatian kepadamu dibanding ibu”
Larangan, keluhan, peraturan lain seakan membuatku jenuh. Menyuruhku untuk berontak. Menyudahi kebatinan perasaanku. Harapanku mendapatkan kedekatan hangat dengan sesosok Ibu tidak mungkin aku dapatkan. Hubungan kami masih teramat dingin. Aku tak ingin memiliki peraturan jauh dari ayah bertemu dengannya. Aku ingin kembali pada hak-hak ku layaknya seorang anak dengan orang tua mereka. Hubungan wajarnya orang tua terhadap anak mereka tanpa harus ada yang membatasi.

                                                                                    ***
“Maafkan ibu, nak. Hanya ayah yang tahu betul mengapa ayah dan ibu memutuskan hubungan sepasang suami istri”
Kalimat itu memberi penjelasan bahwa aku belum benar-benar mengerti dan paham dengan permasalahan mereka. Entah aku tak perlu tahu bahkan tak usah tahu sama sekali dengan alasan mereka. Yang jelas, keakraban ku berkurang semenjak perpisahan beberapa tahun dengan ibu
“aku berat bu terbuka dengan ibu, ingin sekali menceritakan masa remajaku kepadamu namun, rasa canggung itu seakan menahanku untuk membuka mulut untuk bercerita.” Ucapku dalam hati saat aku berhadapan dengan ibu.
“Ibu ga kangen sama ayah?” pertanyaan selugu itu aku tujukan padanya.
Ibu hanya diam dan tersenyum manis.
“Ibu ga sedih?” melanjutkan rasa penasaranku.
Matanya terlihat mulai berkaca-kaca dan mulai mengeluarkan sepatah dua patah kata, “nak, ini sudah takdir Tuhan memisahkan Ibu dengan ayah. Ayahmu yang memiliki hak penuh memutuskan hubungan ibu dengan ayah dan ibu dengan kamu. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”
“Tapi bu, ibu ga tau rasanya tinggal sama orang yang tidak sejalan dengan kami.” Balasku.
“Ibu paham, nak. Kamu harus kuat, yang sabar sebagai anak Ibu kamu harus nurut dengan ayah dan ibu barumu disana. Ibu tidak benar-benar dapat mengurusmu total kalau hak asuhmu ada di tangan Ibu.” Jelas Ibu.
“Sabar sampai mereka memutuskan untuk berpisah seperti ibu dengan ayah?” tanyaku bergejolak.
“Husss kamu ini, jangan mendoakan yang tidak baik seperti itu. Doakan selalu yang baik-baik untuk kebahagiaan ayah dan juga kebahagiaanmu.” Tegas Ibu.
Secara tidak sadar, aku merasakan percakapan hangat dengan Ibu. Kejadian yang begitu sulit dapat aku rasakan. Mencintai Ibu, haruskah aku tetap mencintai Ibu di tengah keadaan seperti ini? Ia tak lagi mengurusku. Jauh dari kegiatan hari-hariku. Tak lagi mengenal siapa aku di masa remaja hingga sekarang.
“Ibu akan selalu mendoakanmu walau jarak membatasi kita, nak” kalimat itu, kalimat yang membuat aku yakin bahwa ibu akan tetap menjadi sesosok Ibu yang melahirkanku, memberi banyak pola didik di masa kecil yang tak lagi dapat aku rasakan di usia seperti sekarang. Untuk masa depanku, cara didik Ibu memberikan banyak pelajaran bagaimana aku suatu saat nanti menjadi sesosok Ibu yang juga akan memiliki seorang anak.
                                                                        ***
Aku menemukan pilihan terberat. Melanjutkan sekolahku di Jakarta atau luar kota. Ayah melarangku untuk jauh dari keluarga, namun rasa keinginanku untuk mencoba mandiri lebih besar dari ketakutan itu semua. “Aku ingin menemukan jati diriku sendiri, yah” namun ayah tetap saja melarang dengan keras.
Tak lagi ada yang dapat memberikan aku masukan selain guru di sekolah. Ia menyarankan untuk mengikuti saja apa yang ayah mau. Aku pun bersikeras untuk menetap di luar kota, selain tidak harus bertemu dan merasakan konflik batin dengan Ibu tiriku, aku dapat menata kehidupan baru lebih baik. Itulah alasan yang juga aku sampaikan pada ayah. “Aku akan menjadi diriku yang jauh lebih baik, yah. Tidak akan mengecewakan keluarga.”
Dengan berat rasa, Ayah memberikan izin padaku. Ayah melepas putrinya untuk menempuh pendidikan di kota lain. Perasaan senang bercampur sedih membuat aku semakin kuat melepas permasalahan-permasalahan yang sempat berputar dipikiranku. Aku akan melanjutkan masa depanku disana. Membuat Ibu bangga. Memberi yang terbaik untuk ayah dan menjadi sesosok perempuan Dewasa bagi orang-orang yang ada buatku. Gadis tanpa senyum akan kembali menjadi Gadis ceria penuh senyum. Itulah tekadku.

Friday 12 April 2013

Don't too fast don't too easy

Definisi sayang secara gue pribadi adalah menyayangkan sesuatu yang hilang, rusak dan merugikan buat pribadi masing-masing. sayang kan?
Gak gitu juga sih haha itu lelucon aja kok.
Jadi gini ders, seminggu ini seakan otak gue diajak muter semuter-muternya untuk nemuin satu titik yang diinginin sama hati gue.
sore tadi.. gue cuci otak sama anak-anak ngawur, dan akhirnya menemukan jalan keluar atas tanda tanya dalam hati gue.
emang wajarnya.. perasaan seseorang bisa berubah kapanpun dan dimanapun, tapi yang namanya perasaan ga cuma sayang aja kan?
biasanya seseorang yang mengawali ketertarikan pada seseorang itu pertama, fisikly.
berawal dari suka, yang kemungkinan besar menjadi sebuah obsesi, penasaran dan ingin memiliki.
rasa sayang itu ga muncul gitu aja tanpa sebab, banyak kriteria-kriteria yang perlahan muncul yang ngebuat rasa sayang itu mulai hadir.

gue punya tips gimana caranya cari tau kadar perasaan sang gebetan dengan lo >>
pertama: yang harus ada di pikiran lo, masa-masa pdkt itu emang selalu manis. cowok/cewek kalo udah obsesi ya apapun juga akan dilakuin demi orang yg dia suka.
kedua : kepo via socmed, seberapa jauh ke kepoan lo tentang masa lalu dan kesehariannya dia sekarang.
ketiga : kepo lewat temen-temen deketnya, paling engga satu aja lo kenal biar bisa tanya beberapa hal yang ga buat lo mati penasaran siapa dibalik gebetan lo itu.
keempat : kenalin lebih dalam sifat, sikap diri lo di depan dia dan sebaliknya. sebelum ke jenjang berikut, kalian harus sama-sama yakin kenyamanan satu sama lain.
kelima : minta dukungan atau pendapat dari orang-orang yang kenal sama kalian tentang hubungan kalian. walaupun sebagian orang banyak yg berasumsi kalo sebuah hubungan itu yg nilai yang ngejalanin, tapi orang-orang sekitar masih berhak menilai deh, yakin. di dunia ini ga cuma lo dan lo aja derss !
semua butuh proses, ga ada yang manis datang secepat itu, sesuatu yang baik ga boleh terburu-buru, ga boleh ada paksaan dan ga boleh tanpa niat.
niat baik harus diakhiri dengan sesuatu yang baik pula :)