Berikut cerpen yang sengaja gue tulis untuk mengikuti kompetisi dengan tema "Perempuan Dalam Cerita" oleh Ika Natassa di blog pribadinya.
Aku.
Panggil saja aku dengan gadis tanpa senyum. Wajahku selalu terlihat murung,
begitu sapa teman-temanku. Mereka hanya tahu sedikit tentang kepribadianku. Aku
tak jarang diam, tak sering juga berbicara. Pikiranku dipenuhi tanda tanya
besar mengapa aku dilahirkan menjadi aku. Bukan dia, ataupun dia. Dengan mata
menunjuk kearah perempuan-perempuan yang berlalu lalang dihadapanku.
Kehilangan,
sebuah kata singkat yang sangat menyakitkan untuk dirasakan. Kecilku, sudah
mengajarkan betapa berharganya orang lain bahkan benda sekalipun sebelum
akhirnya kami harus kehilangan. Sepeda roda empatku, berwarna merah muda dan
memiliki keranjang di bagian depannya sempat menjadi teman bermain saat aku
berumur balita, tapi aku harus kehilangan itu karena seorang pemulung mungkin lebih
layak mengambil dan mempergunakannya. Pikirku di masa sekarang.
Kehilangan
seseorang terdekat lebih menyakitkan dari apapun. Ibu, aku kehilangan kasih
sayang serta perhatiannya. Sesosok ibu yang tak bisa lagi aku temui. Wajahnya yang
cantik, hanya tidak lebih dari 24 jam dalam 365 hari aku dapat menjumpainya. Apakah
adil? Perpisahan dengan ayah berdampak buruk buatku. Jiwaku sepi, tak terarah
dan hilang.
Mataku
tertuju pada anak perempuan yang sedang berjalan dengan ibunya, sangat
menyenangkan melihat keakraban diantara mereka. Keirianku sering kali muncul
setiap momen seperti ini sesekali aku khayalkan. Pada mereka yang begitu mudah menceritakan
keluh kesah satu sama lain, tanpa canggung seorang anak kepada ibu ataupun ibu
kepada anaknya. Aku lupa bentuk perhatian dan kasih sayang ibu, berbagai macam
pesan ibu kepada putrinya. Anak itu menggandeng lengan ibunya yang berparas
cantik tidak jauh cantik dengan dirinya.
Lamunanku
berhenti pada perempuan yang hampir lima tahun meramaikan rumah serta
mendampingi ayah menghidupkanku. Walau secara kasat mata ia pantas menjadi
seorang ibu, bagiku ia hanya sesorang wanita dewasa yang belum memiliki pola
pikir dan hati sesdewasa umurnya. Umurku yang memasuki kepala dua berusaha
membiarkan dirinya mendidik seperti apa yang ia inginkan.
“kamu jangan makan di luar kalau
di rumah ada makanan layak untuk di makan”
“kamu jangan menerima uang lebih
selain uang jajan dari ayahmu”
“kamu jangan meminta ayah untuk
mengantarmmu”
“kamu harus merapikan dan bantu
membersihkan isi rumah setiap paginya”
“kenapa ayah lebih perhatian
kepadamu dibanding ibu”
Larangan, keluhan, peraturan lain
seakan membuatku jenuh. Menyuruhku untuk berontak. Menyudahi kebatinan
perasaanku. Harapanku mendapatkan kedekatan hangat dengan sesosok Ibu tidak
mungkin aku dapatkan. Hubungan kami masih teramat dingin. Aku tak ingin memiliki
peraturan jauh dari ayah bertemu dengannya. Aku ingin kembali pada hak-hak ku
layaknya seorang anak dengan orang tua mereka. Hubungan wajarnya orang tua
terhadap anak mereka tanpa harus ada yang membatasi.
***
“Maafkan ibu, nak. Hanya ayah
yang tahu betul mengapa ayah dan ibu memutuskan hubungan sepasang suami istri”
Kalimat itu memberi penjelasan
bahwa aku belum benar-benar mengerti dan paham dengan permasalahan mereka. Entah
aku tak perlu tahu bahkan tak usah tahu sama sekali dengan alasan mereka. Yang jelas,
keakraban ku berkurang semenjak perpisahan beberapa tahun dengan ibu
“aku berat bu terbuka dengan ibu,
ingin sekali menceritakan masa remajaku kepadamu namun, rasa canggung itu
seakan menahanku untuk membuka mulut untuk bercerita.” Ucapku dalam hati saat
aku berhadapan dengan ibu.
“Ibu ga kangen sama ayah?”
pertanyaan selugu itu aku tujukan padanya.
Ibu hanya diam dan tersenyum
manis.
“Ibu ga sedih?” melanjutkan rasa
penasaranku.
Matanya terlihat mulai
berkaca-kaca dan mulai mengeluarkan sepatah dua patah kata, “nak, ini sudah
takdir Tuhan memisahkan Ibu dengan ayah. Ayahmu yang memiliki hak penuh
memutuskan hubungan ibu dengan ayah dan ibu dengan kamu. Ibu tidak bisa berbuat
apa-apa lagi.”
“Tapi bu, ibu ga tau rasanya
tinggal sama orang yang tidak sejalan dengan kami.” Balasku.
“Ibu paham, nak. Kamu harus kuat,
yang sabar sebagai anak Ibu kamu harus nurut dengan ayah dan ibu barumu disana.
Ibu tidak benar-benar dapat mengurusmu total kalau hak asuhmu ada di tangan
Ibu.” Jelas Ibu.
“Sabar sampai mereka memutuskan
untuk berpisah seperti ibu dengan ayah?” tanyaku bergejolak.
“Husss kamu ini, jangan mendoakan
yang tidak baik seperti itu. Doakan selalu yang baik-baik untuk kebahagiaan
ayah dan juga kebahagiaanmu.” Tegas Ibu.
Secara tidak sadar, aku merasakan
percakapan hangat dengan Ibu. Kejadian yang begitu sulit dapat aku rasakan. Mencintai
Ibu, haruskah aku tetap mencintai Ibu di tengah keadaan seperti ini? Ia tak
lagi mengurusku. Jauh dari kegiatan hari-hariku. Tak lagi mengenal siapa aku di
masa remaja hingga sekarang.
“Ibu akan selalu mendoakanmu
walau jarak membatasi kita, nak” kalimat itu, kalimat yang membuat aku yakin
bahwa ibu akan tetap menjadi sesosok Ibu yang melahirkanku, memberi banyak pola
didik di masa kecil yang tak lagi dapat aku rasakan di usia seperti sekarang.
Untuk masa depanku, cara didik Ibu memberikan banyak pelajaran bagaimana aku
suatu saat nanti menjadi sesosok Ibu yang juga akan memiliki seorang anak.
***
Aku menemukan pilihan terberat. Melanjutkan
sekolahku di Jakarta atau luar kota. Ayah melarangku untuk jauh dari keluarga,
namun rasa keinginanku untuk mencoba mandiri lebih besar dari ketakutan itu
semua. “Aku ingin menemukan jati diriku sendiri, yah” namun ayah tetap saja
melarang dengan keras.
Tak lagi ada yang dapat
memberikan aku masukan selain guru di sekolah. Ia menyarankan untuk mengikuti
saja apa yang ayah mau. Aku pun bersikeras untuk menetap di luar kota, selain
tidak harus bertemu dan merasakan konflik batin dengan Ibu tiriku, aku dapat
menata kehidupan baru lebih baik. Itulah alasan yang juga aku sampaikan pada
ayah. “Aku akan menjadi diriku yang jauh lebih baik, yah. Tidak akan
mengecewakan keluarga.”
Dengan berat rasa, Ayah memberikan
izin padaku. Ayah melepas putrinya untuk menempuh pendidikan di kota lain. Perasaan
senang bercampur sedih membuat aku semakin kuat melepas permasalahan-permasalahan
yang sempat berputar dipikiranku. Aku akan melanjutkan masa depanku disana. Membuat
Ibu bangga. Memberi yang terbaik untuk ayah dan menjadi sesosok perempuan
Dewasa bagi orang-orang yang ada buatku. Gadis tanpa senyum akan kembali
menjadi Gadis ceria penuh senyum. Itulah tekadku.
No comments:
Post a Comment