Thursday 31 January 2013

"Dinginmu sedingin Kotaku"

  Matahari senja menampakkan senyumnya padaku, dibawah pepohonan yang sangat rindam, angin melewati tubuh ini membuat khayalku terbawa oleh angin terbang melayang entah kemana akan berpijak. Dimana imajinasiku tentangnya akan kembali berhenti? Laki-laki itu, sesosok laki-laki yang melayang di pikiranku.
   Kini tepat sebulan bayangnya menghantui perasaanku. Sejak pertemuan itu, ia menunjukkan kepeduliannya padaku. Suatu sikap yang tidak mudah aku dapatkan dari sosok laki-laki lain. Mungkin ini hanya rasaku saja atau memang benar ia peduli padaku? Cukup menjadi sebuah tanda tanya besar bagiku.
   Sebulan yang lalu, ia mengajakku ke sebuah cafĂ© yang bergabung dengan toko buku disertai view terbuka dari atas serta dapat melihat kearea bawah, jalan dan lampu-lampu yang bersinar menerangi kota. Suasana malam, langit menjadi saksi pertemuan dan perbincangan kita. Ia memesan kopi hitam favoritnya, sedangkan aku meminta waiters untuk membawakan singkong yang digoreng dengan ditaburi parutan keju dan juga selembar keju utuh.
“ada kan mas?”
“iya ada teh, selembar aja?”
“iya mas, makasih ya”
Setelah waiters itu memohon kita untuk menunggu, ia pun berjalan ke meja-meja lain untuk melayani pemesan yang lain.
Ditemani segelas mocacino sudah cukup mengenyangkan isi perutku. Obrolan malam itu, keluargaku menjadi topik utamanya. Mataku yang sembap, membuat ia bertanya padaku apa yang terjadi denganku? Cukup jelas, aku merasakan sesosok laki-laki yang belum lama aku kenal begitu menujukkan perhatian yang begitu hangat. Sosoknya yang sederhana, cara bicara yang penuh wibawa dan berwawasan memunculkan daya tarik sendiri untuknya. Tanpa ku duga, aku jatuh cinta dengannya, Senior yang jelas-jelas jarang bertatap dan bertemu langsung di kampus denganku. Apa benar ini cinta? Atau hanya sekedar ingin memiliki sesaat? Bukan! Aku mencintainya, aku benar-benar takut kehilangan seseorang yang bukan milikku. Aku belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.
   Pertemuan kedua, malam itu hujan turun. Kota dimana hujan lebih sering turun kapan saja ia ingin turun. Rumahku, ia datang ke rumahku menggunakan sepeda motor besarnya. Jaket yang melekat pada tubuhnya menjadi ciri khas di setiap pandanganku, helm hitam masih menutupi kepalanya. Detak jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, melihat sosoknya yang tinggi 170 cm dengan berat badan sekitar 50 sudah berada tepat di depan rumahku. Aku membukakan gerbang rumahku, dan menyuruhnya untuk segera memarkirkan kendaraan di samping mobil Papa.
   Kami duduk dengan jarak yang cukup dekat, ada meragu dan malu setiap aku ingin menatapnya. Ia mencairkan obrolan kita dengan membicarakan hal kecil hingga hal besar seputar dunia kampus. Aku harap ia lupa dengan tujuan pertama datang kerumahku. Semalam aku sempat mengatakan sejujurnya padanya tentang perasaan yang berbeda, perasaan yang luar biasa setelah aku mengenalnya. Tiba-tiba hening, tidak ada suara yang terlepas dari mulutku ataupun mulutnya, hanya ada rintikan hujan yang turun membasahi halaman depan rumahku.
Ia kembali memulai percakapan, “semalam kenapa?”
“kesambet kak” hehe
“bercanda aja nih, abis lewat kuburan mana emang?”
Sambil menahan senyum aku mencoba menjawab pertanyaan singkatnya, “bukannya semalam udah aku jelasin kak kalo aku cuma mau jujur ke kamu gimana perasaan aku, ga ada yang salah kan tentang kejujuran?”
“iya tapi kakak masih penasaran kenapa bisa ngomong begitu”
“aku cuma ingin melegakan perasaan aku dan ga akan berharap lebih juga kok kak ke kamu, kamu mikirnya apa setelah buka bbm aku?”
“kaget aja, kakak kira cuma nyapa biasa eh taunya panjang”, “semua butuh proses dek, maaf kakak ga bermaksud mainin perasaan kamu.” Ia menyambung kalimatnya yang hampir putus.
Perkataan itu, cukup membuat harapan yang penuh, hati yang utuh mulai retak menjadi kepingan-kepingan yang mungkin dapat dijadikan mozaik kalau saja hati ini sebuah mainan. Inikah harapan yang aku pikir besar? Seseorang yang membuat diri aku jatuh hati tidak memiliki rasa yang sama padaku? ini masalah waktu, aku terlalu cepat merasakan dan menyatakan, sedangkan ia masih butuh waktu, ‘belum’ yang berarti ‘akan’ dan bukan benar-benar tidak akan ataupun tidak mungkin.
   Setelah  percakapan itu, aku merasa setengah harapanku hilang. Aku tidak lagi memiliki obrolan yang biasa kita bahas walau hanya via blackberry messanger. Aku merindukan hal itu.
   Hujan selalu menjadi saksi disaat aku meneteskan harapan serta air mataku, hobiku duduk bersandar pada kursi meja belajar yang tepat berada di depan jendela kamarku, mencoret-coret lembaran kertas kosong, memandangi alam ketika malam dan hanyut begitu dalam pada perasaan. Salahkah dengan rasa yang sedang aku rasakan? Sepertinya sudah saatnya aku kubur dalam-dalam perasaanku, harus menunggu berapa lama lagi untuk mengetahui apa yang ia inginkan? Memilikiku atau membiarkan aku pergi dengan kekecewaan yang begitu besar karenanya?
  Bogor, kota yang sejuk. Aku senang dapat merasakan ketenangan pada sistim otak dan hati ketika mendengar rintik hujan. Aku suka aroma alam ketika selesai hujan, aroma tanah yang terbasahi oleh air hujan, dan melihat dedaunan yang basah tertimpa butiran-butiran air yang turun dari langit melalui awan.
   Aku tau hari ini hari ulang tahunnya, aku sudah mempersiapkan sebuah kado. Baju berkerah yang aku lipat dan masukkan ke dalam kotak berwarna cokelat. Aku membawanya ke kampus dan berniat untuk memberikan padanya siang ini, tapi takdir berkata lain, aku telat. Aku mendapat kabar dari temannya bahwa ia sudang pulang sedari mata kuliah berakhir, sekitar pukul 11.00, sekarang jam ditangan kiriku sudah menunjukkan pukul 12 kurang 5 menit. Waktu dimana para muslim wajib melaksanakan sholat jum’at.
  Setelah aku pikir-pikir, mungkin nanti malam lagi saja aku akan mencoba menyuruhnya datang kerumahku untuk mengambil kado dariku. Sore ini aku berencana jalan-jalan menuju kebun raya bogor. Aku tidak jarang menghabiskan waktu di taman ini, sekedar berjalan, hunting foto bahkan hanya jajan di area sepanjang jalan Juanda. Berbagai macam makanan khas kota ini dengan mudah di dapat disini. Apalagi bagi pendatang sepertiku, setiap hari rasanya tidak puas kalau tidak jajan jajanan di kota hujan ini.
  Sebelum memasuki pintu masuk dan membeli tiket, aku mampir untuk membeli beberapa cemilan yang dapat aku bawa ke dalam. 6 buah roti unyil sudah dibungkus dan aku pun kembali berjalan menuju pintu masuk bersama beberapa orang yang juga sudah siap berkeliling kebun ini. Aku mengikuti jalan yang selalu jelas terarah pada papan petunjuk jalan. Aku sudah biasa jalan sendiri seperti ini. Hari ini pengunjung tidak terlihat begitu ramai, karena memang hari ini bukan hari libur. Aku menuju jembatan  merah tempat dimana pengunjung yang datang kesini pasti mencari-cari jembatan ini, mitosnya “Bagi orang yang berpasangan lalu jalan menyebrangi jembatan ini, maka akan segera putus. sebaliknya, seseorang yang masih sendiri disarankan jalan menyebrangi jembatan ini agar segera mendapatkan kekasih.”
Mitos yang sangat lucu, aku merupakan salah satu yang tidak mempercayai hal itu. Tapi sungguh, aku suka duduk di bawah anak tangga dekat jembatan ini. Disini aku dapat menulis, menuangkan semua daya khayalku, mengambil gambar suasana jembatan ketika ramai, saat sepasang kekasih terlihat begitu bersahabat bahkan ketika sepi pun aku mendapatkan suasana yang terambil oleh kamera fotoku.
   Telepon genggamku berdering dengan getaran yang khas, “Dimana dek?” seorang teman dekat kakak seniorku mengirim pesan singkat.
“Di taman kak”
“Udah jadi dikasih kadonya?”
“ehehe belum kak, belum ketemu orangnya”
“Kakak mau ngerjain dia dek sama yang lain, mau ikutan? Masih nanti sore sih, lo dimana?”
“Jembatan merah kak, mau ketemuan dimana nanti?”
“Nanti gue kabarin lagi deh”
“Oh, oke di tunggu ya kak”
   Aku kembali menyentuh dan memakan roti unyil yang aku beli tadi, seketika meminum air mineral yang memang selalu aku bawa dari rumah dengan botol minum berwarna biru kesukaanku.
20 menit kemudian, sesosok laki-laki terlihat berjalan dari arah berlawanan dimana tempat ku menatapnya. Wajah yang tak asing lagi, wajah yang masih berlari-lari kecil di pikiranku? Ah ini hanya khayalku saja pasti, ucapku dalam hati.
Sosoknya semakin dekat, ia menghampiriku melemparkan senyum manisnya padaku. “Kak Arya?” aku menyapa.
“Ngapain  sendirian? Ga takut kesambet lagi?”
Ia terus memberikan senyumnya disaat aku masih terkejut dengan kehadirannya.
“Oh iya, Kak selamat ulang tahun. Ini,” aku dengan spontan mengeluarkan kotak kado dari dalam tasku dan segera memberikannya padanya.
Ia pun menerima dan membalas ucapanku, “Makasih ya dek”
“Sama-sama kak, kok kamu bisa ada disini?”
“Iya di kasih tau Risky”
“Oh kak Risky.. pantes tadi dia bbm ternyata disuruh kamu”
“eh engga bukan aku yang nyuruh, dia tiba-tiba yang nyuruh aku kesini. udah mau gelap nih, ga mau pulang?”
“bentar kak, liat deh” Aku menunjuk sebuah daun berukuran sedang berwarna merah berbentuk hati yang tidak jauh berada dekat dengan kakinya, dan sedikit kucal karena sepertinya daun di jalan sudah pasti diinjak-ijak pejalan kaki. “itu ibarat hati aku sekarang tuh kak”
“hm pulang yuk, nanti makin malam kita disini”
Aku hanya mengangguk melihat ia bangun dan mengajakku berdiri dari dudukku.
Sikap dinginnya mulai kembali menusuk, tanda tanya dalam otakku semakin membesar. Apa yang ia inginkan? Hanya terpaksa datang kesini atas paksaan temannya? Tidak mungkin kalau tidak ada rasa mau menjemputku kemari. Ah sudahlah, lama-lama bisa gila, keluhku.
   Keluar pintu gerbang kebun raya bogor, gerimis kembali membasahi jalan. Ia meminggirkan motornya dan menawariku untuk berteduh. Tapi aku menolak, “lanjut aja kak, ga besar kok hujannya”
Dia hanya diam tanpa menjawab sedikit pernyataanku.
“udah ga apa-apa kak, yuk!”
Motor yang dikendarainya pun melintas dengan kecepatan yang tidak begitu lambat dan juga tidak begitu cepat, hujan semakin lebat, ia berhenti di jalan salak tepat di depan tempat makan makaroni panggang. “Mampir disini ga apa-apa kan dek?”
“Iya iya kak, kamu laper?”
“Iya sekalian neduh, hujannya lebat gitu”
Tempatnya cukup luas, berlantai dua, suasananya nyaman, banyak pohon dan terdapat ayunan di halaman depan, sepertinya dulu ini merupakan tempat tinggal, yang dijadikan tempat usaha. Ada beberapa rumah makan sejenis di sekitarnya, seperti Home of Cup Cakes dan Apple Pie. Kami masuk melalui teras, yang sudah mulai terisi beberapa meja, kemudian aku dan Kak Arya naik ke lantai dua, yang ternyata tempatnya lebih sumpek dan sempit, akhirnya kami turun ke bawah dan memilih salah satu sudut, di depan piano, yang tak bisa dipakai, depan dapur dan meja kasir.
Kita memesan dua macaroni berukuran small dan satu fried potato and sosis. Sedangkan minumnya, Kak Arya memesan hot tea dan aku ice tea. Pelayanan yang tidak terlalu lama. Setengah jam pesanan kita sudah dapat memakan makanan yang cukup memuaskan perut. Aku teringat dengan ucapan kak Risky siang tadi, aku langsung mengirim pesan untuk bertanya tentang rencana mereka. “Kak, jadi mau ngerjain Kak Arya dimana?”
“Sekarang lo dimana dek? Udah sama Arya?”
“di MP kak, kalian mau kesini aja kita jebak disini?”
“Kita sekarang dirumah Arya, semua anak-anak disini. Kita tunggu disini aja dek”
“Tapi masih hujan kak, mungkin agak malem”
“Iya lekas kabarin kalau kalian jalan pulang”
“Iya kak”
Kak Arya seperti gelisah melihat-lihat telepon genggamnya, “kenapa kak?”
“Ini udah malem dek.. kamu kemaleman ga apa-apa?”
“Ya ampun kak.. aku kira kenapa, iya ga apa-apa kok. Aku bbm papah juga pasti ngerti kalo sekarang hujan”
Satu jam kemudian setelah makan, jam sudah menunjukan pukul 9 tepat, ”udah reda dek, mau pulang sekarang?”
“Iya terserah kakak aja”
Tiba-tiba aku panik, kalau aku diantar kak Arya sampai rumah, aku ga bisa ikut kerumah Kak Arya. Aku pun ijin ke toilet sebentar, segera mengeping!!! Dan meminta nomor kak Risky, tetapi semua bbm ku tidak ada balasan bahkan D terus. Aku putus asa dan kembali menghampiri Kak Arya. “Maaf ya kak lama, yuk pulang”
Tidak ada percakapan disepanjang jalan pulang, udara malam semakin terasa dingin pada tubuh kecilku. Ketika tiba dirumah, rintik hujan masih menemani kami. Aku pun turun dan mengucapkan terima kasih untuk hari ini. “Makasih ya kak, semoga suka dengan kadonya”
“Iya dek, kakak seharusnya yang bilang terima kasih. Kakak ga mampir ya, sudah malam. Salam untuk papah kamu” ia mengarahkan tangan kanannya ke arahku, seakan memintaku untuk bersalaman dan menciup tangannya ke keningku.
“Kakak pulang dulu ya” tubuhku yang dingin berubah menjadi hangat atas sikapnya yang ia tunjukan kali ini.
“Iya kak, hati-hati ya” aku membalas dengan mencium tangannnya.
Apa ini sebuah harapan baru? Ada kehangatan dibalik sikap dinginnya padaku, aku merasakan kehangatan itu sekarang. Perasaanku semakin jelas. Aku tidak bisa mengurangi kekagumanku padanya, Tuhan.. bantu aku untuk menyikapi perasaan ini. Hati kecilku berdoa sambil membuka pintu kamar tidurku.
   Baru saja pintu kamarku kembali ku tutup, telepon genggamku bergetar dan ada panggilan masuk dari nomor tidak ku kenal.
“Halo”
“Dek, keluar deh”
“Ini siapa?”
“Risky, Risky..”
“Kak Risky? Depan rumah kak?”
“Iya dek, katanya mau ikut kerumah Arya”
“Oh iya kak, tunggu sebentar ya”
Malam sudah semakin larut, papah sudah masuk kamar tidurnya begitu pun dengan yang lain. Pintu rumah sengaja ku kunci dan berniat aku bawa agar tidak mengganggu yang lain ketika pulang nanti. Aku berjalan perlahan menuju pintu gerbang rumahku, terlihat sosok Kak Arya berdiri beberapa meter dari gerbang rumahku bersama teman-temannya. Aku terkejut dan merasakan muka ku sudah mulai memerah melihat kejadian ini. “Kak Arya? Kok bukannya pulang?”
Hahaha ciyeee, suara tawa serta ledekan satu persatu teman-temannya terdengar di telingaku.
“Ini yang ulang tahun siapa sih? Kok aku yang dikerjain?” tanyaku pada mereka.
“yang ulang tahun emang Arya dek, tapi ini moment bagus buat lo sama Arya. Yakan ar?” timpal salah satu temannya yang lain dengan nada meledek.
“Kak Risky nih ya rese banget, tau gitu daritadi siang bbm ga gue bales kak”
“Ah.. nanti nyesel.. haha” Kak Risky kembali membuat wajahku semakin tersipu malu.
“Ini emang rencana mereka dek, tapi perasaan aku diluar dari rencana mereka” tegas Kak Arya.
“Eciyeee…” sekumpulan mereka berteriak kompak.
“Ssst udah malem woy, ga enak ini wilayah orang” tegas Kak Arya kepada teman-temannya.
“Yauda cepatlah.. lama nih” desak kak Risky kepada kami.
Aku hanya diam menutupi rasa malu dan bahagia atas kejadian tak ku duga malam ini.
“Kita pacaran dek” singkat kata kak Arya melontarkan kata itu.
“Lah, lo gimana sih Ar? Romantis dikit lah, anggap aja lo lagi berdua doang kita ga ada” ucap dari kekasihnya kak Risky yaitu kak Nanda.
“Masa masih gue ajarin juga sih?” Kak Risky menambahkan.
“Pada bawel-bawel nih, grogi gue” begitu jujurnya kalimat yang ia keluarkan membuatku menujukkan senyum simpul padanya.
“Aku sayang kamu kak” aku memulai keheningan yang sempat terjadi beberapa detik.
“He iya dek, kakak juga. Kamu mau jadi pacar kakak?”
“Akhirnya…” keheningan tidak berlangsung lama, mereka kembali meramaikan suasana malam itu.
“Kita dukung 100% dek, diterima nikah dan kawinnya kan?” Kak nanda memukul kekasihnya yang asal ceplas ceplos itu. “Bercanda  ya dek..”
Dengan tertawa kecil aku pun menjawab pertanyaan Kak Risky sekaligus menjawab pertanyaan Kak Arya “Iya kak, aku ga akan nolak” :)

new user

Haloo
udah pasti pada nebak nama gue Rahma kan?
hihi.. gue suka nulis sejak smp dulu dan baru sempet ngeblog sekarang makanya baru bisa muncul di akhir Januari tahun 2013 ini
maybe.. banyak orang yang akan bilang gue ketinggalan jaman baru ngepost sekarang tapi ga ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baik, right?
let's start with say welcome februaryyyy :D