Bayi yang tinggal terpisah dengan ibunya, meski hanya satu malam, diketahui memiliki hubungan yang lebih renggang dibandingkan dengan bayi dan anak yang tinggal bersama ibunya. Hal ini biasanya terjadi pada anak yang orang tuanya hidup terpisah. Hasil ini ditemukan oleh peneliti di University of Virginia setelah menganalisis data dari ribuan anak yang lahir di Amerika pada tahun 1998 sampai 2000 (Merdeka.com)
Membaca prolog artikel tsb, mengingatkan
saya pada masa-masa dimana adik perempuan saya yang baru beberapa bulan lahir
diharuskan untuk hidup tanpa pengawasan seorang ibu. Waktu itu, umur saya
sekitar 6 tahun. Saya merasakan adanya dampak yang begitu besar dengan
terjadinya permasalahan dalam kehidupan saya setelah itu, mengapa? Saya hanya
dapat menerka-nerka bahwa kami sangat butuh perhatian dan kasih sayang khusus
dari orang tua kepada anak yang diberikan pada umumnya. Hingga kini umur saya
20 tahun, saya rasa jarak atau kerenggangan masih akan tetap ada. Apakah ini
keinginan saya? Tidak, tidak sama sekali.
Harapan semua orang adalah
membina, memperoleh serta menikmati keharmonisan dalam hubungan suatu keluarga.
Baik suami dengan istri dan sebaliknya, orangtua dengan anak dan sebaliknya. Sejak kehadiran sosok perempuan atas dasar
mencintai papa dan ingin menjadi seorang ibu (apapun kesulitannya) dari keempat anaknya, seakan kami
memiliki harapan kembali untuk menjalani kehidupan yang utuh (lagi). Namun, sangat disayangkan harapan itu tidak benar-benar berbuah manis. Berbeda garis.
Awal-awal tahun, kami masih dalam
proses adaptasi untuk saling menerima posisi. Andai kala itu saya memiliki keberanian mengingatkan
kepadanya bahwa “kedekatan fisik bagi anak usia dibawah 7 tahun adalah sesuatu
yang memang diperlukan. Mereka belum bisa membayangkan sosok orangtua yang
tidak ada di dekatnya.” Akan saya ungkapkan agar adik saya diberi kedekatan
khusus. Bahkan, terkadang dengan orangtua tanpa sadar terlalu over estimate
pada anak, padahal sebenarnya mereka juga masih butuh dimanjakan dan didengarkan
maka, kurangnya komunikasi mendalam antara anak dan orangtua, berdampak negatif
pada perkembangan emosi anak.
"Keterampilan komunikasi anak menjadi kurang diasah sehingga anak lebih individualis. Mereka juga rentan jadi pemberontak, terutama pada anak yang bawaannya memang keras," (Kompas.com)
"Keterampilan komunikasi anak menjadi kurang diasah sehingga anak lebih individualis. Mereka juga rentan jadi pemberontak, terutama pada anak yang bawaannya memang keras," (Kompas.com)
Untuk itu, obrolan mendalam antara
orangtua dan anak sebenarnya membantu anak mengatur emosinya. Sedangkan anak-anak
yang jarang diajak ngobrol dengan orangtuanya cenderung merasa
"kosong" dalam jiwanya sehingga mereka akan mencari orang lain untuk
mengisi kekosongan tersebut. Wajar, bukan?
Kedekatan secara fisik dengan
anak seharusnya menjadi keistimewaan yang patut disyukuri karena orangtua bisa
melihat secara langsung perkembangan anak. Dengan menerapkan komunikasi yang
efektif, baik keluarga yang terpisah jarak maupun keluarga yang satu atap, bisa
mencegah pengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Bersyukurlah kamu yang
dapat merasakan berbagai kedekatan dengan keluarga, feel and spread love :)
No comments:
Post a Comment