Judul :
La La Land
Sutradara :
Damien Chazelle
Rilis :
Desember 2016
Pemain :
Ryan Gosling, Emma Stone
Genre : Drama Romance, Musical
Dua minggu lebih ketunda nonton
film yang saya yakin bakalan booming
banget, akhirnya kemarin saya pun menikmati film yang berdurasi 128 menit ini. Sebelumnya,
saya memang sudah menggali informasi dari artikel berbagai sumber, baik lokal
maupun mancanegara. Dari informasi yang saya dapat bahwa para aktor/aktrisnya
totalitas tanpa batas demi menghasilkan karya yang “wah”, terutama sutradara
Damien Chazelle yang sekaligus sebagai penulis naskah tersebut. Saya begitu
salut dengan scene by scene yang
ditayangkan dalam film La La Land ini.
Selain Ryan Gosling harus belajar memainkan piano selama tiga bulan, bersama
Emma Stone ia juga berlatih dance
yang tentunya berhasil membuat semua penonton terkesima dengan akting mereka.
Pada awal film dibuka dengan scene kemacetan,
di mana salah satu pengemudi keluar dari mobil lalu bernyanyi dan menari untuk
menghilangkan penat sesaat. Dilanjutkan dengan orang yang lain, disusul lagi
dengan orang yang lainnya lagi, hingga rasa bosan dalam kemacetan berubah
menjadi menyenangkan dengan keseruan mereka. Bahkan, jalanan disulap menjadi setting produksi film musikal karena
ditampilkan banyaknya orang-orang bernyanyi dan menari bersama.
Bagi
saya yang tidak terlalu suka film bergenre musikal mungkin akan menilai agak
boring pada beberapa scene awal dipotong dengan menyanyi dan menari. Namun,
bagi mereka penggemar film musikal di situ lah keseruan dan menariknya film tersebut.
Adapun karena film ini dibalut dengan musik jazz yang begitu apik maka saya cukup
dimanjakan dengan hidangan lagu yang beberapa kali dilantunkan oleh Sebas dan
Mia.
Seperti
drama pada umumnya, La La Land berkisah sederhana tentang seorang
perempuan bertemu laki-laki. Mereka kemudian jatuh cinta dan terjadilah konflik
diantara mereka. Mia (Emma Stone) yang bekerja di sebuah kafe di studio Warner
Bros, bercita-cita menjadi aktris dengan rajin mengikuti berbagai audisi,
sementara Sebastian (Ryan Gosling) seorang pianis berbakat yang jatuh cinta
pada musik jazz, bercita-cita untuk membuat klub jazz-nya sendiri.
Menariknya, film ini digambarkan dalam empat musim. Kisah cinta mereka dimulai tidak sengaja
bertemu di musim dingin pada kemacetan kala itu Mia tidak fokus
berkendara ketika jalur mulai lancar, dan sebas marah lalu mengklakson dengan
kencang ke arah Mia. Kemudian, tak sengaja mereka dipertemukan di sebuah pesta di
musim semi. Usai pesta, di penghujung senja mereka kembali bertemu saat Sebas menemani Mia mencari mobilnya.
Pemandangan senja dari atas bukit memulai
benih-benih asmara keduanya. Scene yang artistik dengan warna langit yang
lembut orange-keunguan—membuat romantis serta menjadikan film terlihat sangat-sangat
indah.
Hubungan
keduanya menjadi rumit saat Mia harus berjuang untuk meraih mimpinya tanpa
kehadiran Sebas yang bergabung dengan band milik Keith yang diperankan oleh
John Legend yang sukses menggelar tur. Selain itu, konflik juga terjadi pada
diri mereka masing-masing. Mia tetap pada pendiriannya untuk mengejar
cita-citanya sebagai aktris, sementara Sebas menyerah pada musik jazz klasik
dengan menjadi keyboardis band jazz yang kekinian atas dorongan Keith.
Di
menit-menit terakhir film, ini scene yang
paling saya suka sekaligus saya tidak suka. Film ini benar-benar ringan namun
memiliki pesan dan arti yang amat dalam. Sekitar 5-10 menit diceritakan kembali/kilas
balik cerita ulang versi lain. Selain saya terpukau dengan aktingnya Emma Stone
di film ini, yang cukup memikat adalah penampilan Ryan Gosling di akhir film dengan
menunjukkan kemampuan piano yang sukses meyakinkan penonton bahwa dia adalah
seorang pianis berbakat yang juga bermain dengan hati.
O ya, saya juga ingat di mana ada
scene saat
para tokoh menyebut keindahan pariwisata Indonesia lho. Well, menurut saya film
ini menggambarkan sebuah kepercayaan tentang "American Dream". Mereka
adalah orang-orang yang percaya, bahwa melalui kerja keras, pengorbanan, dan
kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Keduanya mewakili dari ribuan orang yang mengadu
nasib di Hollywood. Mungkin ini juga yang mendasari film tersebut diberi judul
"LA LA", kepanjangan dari Los Angeles di mana Hollywood merupakan
salah satu bagian di dalamnya. Semoga aja Hollywood tak lagi hanya bisa
memberikan referensi kepada cineas di Indonesia tapi juga mendukung, bahkan bisa
bekerjasama menghasilkan karya yang bagus-bagus, ya!
No comments:
Post a Comment