Monday, 23 January 2017

REVIEW FILM LA LA LAND


Judul       : La La Land
Sutradara : Damien Chazelle
Rilis         : Desember 2016
Pemain     : Ryan Gosling, Emma Stone
Genre       : Drama Romance, Musical


Dua minggu lebih ketunda nonton film yang saya yakin bakalan booming banget, akhirnya kemarin saya pun menikmati film yang berdurasi 128 menit ini. Sebelumnya, saya memang sudah menggali informasi dari artikel berbagai sumber, baik lokal maupun mancanegara. Dari informasi yang saya dapat bahwa para aktor/aktrisnya totalitas tanpa batas demi menghasilkan karya yang “wah”, terutama sutradara Damien Chazelle yang sekaligus sebagai penulis naskah tersebut. Saya begitu salut dengan scene by scene yang ditayangkan dalam film La La Land ini. Selain Ryan Gosling harus belajar memainkan piano selama tiga bulan, bersama Emma Stone ia juga berlatih dance yang tentunya berhasil membuat semua penonton terkesima dengan akting mereka.

Pada awal film dibuka dengan scene kemacetan, di mana salah satu pengemudi keluar dari mobil lalu bernyanyi dan menari untuk menghilangkan penat sesaat. Dilanjutkan dengan orang yang lain, disusul lagi dengan orang yang lainnya lagi, hingga rasa bosan dalam kemacetan berubah menjadi menyenangkan dengan keseruan mereka. Bahkan, jalanan disulap menjadi setting produksi film musikal karena ditampilkan banyaknya orang-orang bernyanyi dan menari bersama.


Bagi saya yang tidak terlalu suka film bergenre musikal mungkin akan menilai agak boring pada beberapa scene awal dipotong dengan menyanyi dan menari. Namun, bagi mereka penggemar film musikal di situ lah keseruan dan menariknya film tersebut. Adapun karena film ini dibalut dengan musik jazz yang begitu apik maka saya cukup dimanjakan dengan hidangan lagu yang beberapa kali dilantunkan oleh Sebas dan Mia. 


Seperti drama pada umumnya, La La Land berkisah sederhana tentang seorang perempuan bertemu laki-laki. Mereka kemudian jatuh cinta dan terjadilah konflik diantara mereka. Mia (Emma Stone) yang bekerja di sebuah kafe di studio Warner Bros, bercita-cita menjadi aktris dengan rajin mengikuti berbagai audisi, sementara Sebastian (Ryan Gosling) seorang pianis berbakat yang jatuh cinta pada musik jazz, bercita-cita untuk membuat klub jazz-nya sendiri.

Menariknya, film ini digambarkan dalam empat musim. Kisah cinta mereka dimulai tidak sengaja bertemu di musim dingin pada kemacetan kala itu Mia tidak fokus berkendara ketika jalur mulai lancar, dan sebas marah lalu mengklakson dengan kencang ke arah Mia. Kemudian, tak sengaja mereka dipertemukan di sebuah pesta di musim semi. Usai pesta, di penghujung senja mereka kembali bertemu saat Sebas menemani Mia mencari mobilnya.

Pemandangan senja dari atas bukit memulai benih-benih asmara keduanya. Scene yang artistik dengan warna langit yang lembut orange-keunguan—membuat romantis serta menjadikan film terlihat sangat-sangat indah.

Hubungan keduanya menjadi rumit saat Mia harus berjuang untuk meraih mimpinya tanpa kehadiran Sebas yang bergabung dengan band milik Keith yang diperankan oleh John Legend yang sukses menggelar tur. Selain itu, konflik juga terjadi pada diri mereka masing-masing. Mia tetap pada pendiriannya untuk mengejar cita-citanya sebagai aktris, sementara Sebas menyerah pada musik jazz klasik dengan menjadi keyboardis band jazz yang kekinian atas dorongan Keith.


Di menit-menit terakhir film, ini scene yang paling saya suka sekaligus saya tidak suka. Film ini benar-benar ringan namun memiliki pesan dan arti yang amat dalam. Sekitar 5-10 menit diceritakan kembali/kilas balik cerita ulang versi lain. Selain saya terpukau dengan aktingnya Emma Stone di film ini, yang cukup memikat adalah penampilan Ryan Gosling di akhir film dengan menunjukkan kemampuan piano yang sukses meyakinkan penonton bahwa dia adalah seorang pianis berbakat yang juga bermain dengan hati.



O ya, saya juga ingat di mana ada scene saat para tokoh menyebut keindahan pariwisata Indonesia lho. Well, menurut saya film ini menggambarkan sebuah kepercayaan tentang "American Dream". Mereka adalah orang-orang yang percaya, bahwa melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Keduanya mewakili dari ribuan orang yang mengadu nasib di Hollywood. Mungkin ini juga yang mendasari film tersebut diberi judul "LA LA", kepanjangan dari Los Angeles di mana Hollywood merupakan salah satu bagian di dalamnya. Semoga aja Hollywood tak lagi hanya bisa memberikan referensi kepada cineas di Indonesia tapi juga mendukung, bahkan bisa bekerjasama menghasilkan karya yang bagus-bagus, ya!

No comments:

Post a Comment